Daris Rajih

Search…View…Copy…Paste…

Beristighfar karena ucapan Al-Hamdulillah

Konon Sirri al-Saqathi, salah seorang kaum Sufi, pernah berkata, ”Sudah tiga puluh tahun aku beristighfar kepada Allah hanya karena ucapan al-hamdulillah yang keluar dari mulutku” Tentu saja banyak orang menjadi bingung dengan pernyataannya itu lalu bertanya kepadanya, ”Bagaimana itu bisa terjadi?”

Sirri berkata, ”Saat itu aku memiliki toko di Baghdad. Suatu saat aku mendengar berita bahwa pasar Baghdad hangus dilalap api, padahal tokoku berada di pasar tersebut. Aku bersegera pergi ke sana untuk memastikan apakah tokoku juga terbakar ataukah tidak? Seseorang lalu memberitahuku, ”Api tidak sampai menjalar ketokomu” Aku pun mengucapkan, ”Alhamdulillah!” Setelah itu terpikir olehku, ”Apakah hanya engkau saja yang berada di dunia ini? Walaupun tokomu tidak terbakar, bukankah toko-toko orang lain banyak yang terbakar. Ucapanmu : alhamdulilah menunjukkan bahwa engkau bersyukur bahwa api tidak membakar tokomu. Dengan demikian, engkau telah rela toko-toko orang lain terbakar asalkan tokomu tidak terbakar! Lalu aku pun berkata kepada diriku sendiri lagi, ”Tidak adakah barang sedikit perasaan sedih atas musibah yang menimpa banyak orang di hatimu, wahai Sirri?” (Di sini Sirri menyitir hadis Nabi, ”Barangsiapa melewatkan waktu paginya tanpa memerhatikan urusan kaum muslimin, niscaya bukanlah ia termasuk dari mereka (kaum muslimin)”). Sudah 30 tahun saya beristighfar atas ucapan alhamdulillah itu.

Kisah tentang Sirri al-Saqathi ini merupakan sebuah contoh bentuk cinta diri negatif yang bisa kita katakan sebagai sifat mementingkan diri sendiri. Cinta diri seperti ini menutup pintu bagi segala bentuk perhatian yang sungguh-sungguh pada orang lain. Orang yang mementingkan diri sendiri hanya tertarik pada diri sendiri, dia menghendaki segala-galanya bagi dirinya sendiri, tidak merasakan kegembiraan dalam hal memberi dan hanya senang jika menerima. Dunia luar hanya dipandang dari segi apa yang dapat dia peroleh. Dia tidak berminat untuk memerhatikan kebutuhan-kebutuhan orang lain dan tidak menghargai kodrat serta integritas mereka. Orang macam ini tidak bisa melihat apa-apa selain dirinya sendiri. Dia menilai setiap orang atau lainnya hanya semata dari sisi manfaat buat dirinya. Pada dasarnya orang macam ini tidak punya kemampuan untuk mencintai.

Cinta diri dalam bentuk ini bukanlah sesuatu yang sesungguhnya maujud. Cinta semacam ini sesungguhnya hanyalah suatu bentuk kegandrungan seseorang pada dirinya sendiri. Karena itu cinta diri seperti ini harus disingkirkan. Sebaliknya cinta diri yang merupakan fithrah yang ada pada diri manusia seperti keinginan untuk memuliakan diri, mensucikan diri dan hal-hal semacam itu tentu saja tidak boleh diabaikan atau pun dibuang. Perbaikan dan penyempurnaan diri (nafs) manusia justru merupakan kemestian dan keharusan bagi manusia untuk mewujudkannya.

March 30, 2008 Posted by | Kisah Sufi, Syeikh As-Sariy As-Saqqathy RA | Leave a comment

Izin

Seorang budak cantik bernama Tuhfah di abad IX. Ia tak mengenal tidur maupun makan. Kala kondisinya makin gawat, majikannya mengirim dia ke rumah sakit jiwa. Kendati ia berpakaian mewah dan wangi, kedua kakinya dirantai. Ia sering melantunkan bait-bait syair cinta.

Wahai, aku tidak gila tapi hanya mabuk! Kalbuku sadar betul dan amat bening. Satu-satunya dosa dan kesalahanku ialah dengan tidak tahu malu menjadi kekasih-Nya…

Dan, setelah itu, Tuhfah pingsan. Begitu siuman, ia ditanya siapa yang engkau cintai?

“Aku mencintai Zat yang membuatku sadar akan anugerah, yang berbagai macam karunia-Nya menyebabkanku dikenai kewajiban, yang dekat dengan segenap kalbu, yang mengabulkan orang-orang yang membutuhkan,” ujarnya.

Syaikh Al-Saqati yang mendengar syair itu tergetar. Ia menyimpulkan, Tuhfah tidak gila, dan memintanya pergi ke mana saja. Tapi, gadis itu menjawab: “Aku hanya akan pergi jika majikanku mengizinkan. Kalau tidak, aku akan tetap di sini.” “Demi Allah,” kata Al-Saqati dalam hati, “ia lebih bijak ketimbang diriku.”

Continue reading

March 24, 2008 Posted by | Kisah Sufi, Syeikh As-Sariy As-Saqqathy RA | 2 Comments

Kekayaan Tanpa Harta, Ilmu Tanpa Belajar Dan Kemuliaan Tanpa Kaum Keluarga

Syeikh As-Sariy As-Saqqathy r.a.  bercerita:

Sekali peristiwa sedang aku berada di Baitul-Maqdis,  ketika itu aku duduk di Sakhrah berdekatan dengan Masjid Al-Aqsha.  Aku dalam keadaan sedih dan pilu sekali,  kerana hari-hari untuk perlaksanaan haji ke Batullah hanya tinggal sepuluh hari saja lagi,  jadi aku merasa kesal sekali kerana tidak dapat menunaikan ibadat Haji pada tahun itu

Aku berkata dalam hatiku:

“Alangkah buruknya nasib!  Semua orang telah berangkat menuju ke Makkah untuk menunaikan haji,  dan kini yang tinggal hanya beberapa hari saja,  padahal aku masih berada di sini!”

Akupun menangis kerana ketinggalan amalan Haji tahun ini.  Tidak beberapa lama sesudah itu,  aku terdengar suatu suara ghaib menyambut tangisanku tadi.  Katanya:

Continue reading

March 10, 2008 Posted by | Kisah Sufi, Syeikh As-Sariy As-Saqqathy RA | 2 Comments

Pendapat Syeikh Siri As Saqathi Soal Maulid (wafat 253 H)

Beliau adalah paman sekaligus guru Imam Junaid. Disamping itu beliau radhiyallahu anhu juga murid Ma’ruf Al Karkhi. Kesalehan dan kegigihan Sirri As Saqathi dalam beribadah tidak diragukan lagi.

Imam Junaid radhiyallahu anhu berkata “Aku tidak melihat seorang yang lebih hebat ibadahnya dari Sirri.” Selama 98 tahun beliau tidak pernah berbaring kecuali pada saat sakit menjelang wafatnya. Artinya beliau radhiyallahu anhu senantiasa beribadah kepaad Allah Ta’ala siang malam. Jika harus tidur, itupun beliau lakukan dalam keadaan duduk, sehingga wudhunya tidak batal.

Sebagaimana guru dan keponakannya, Sirri As Saqathi radhiyallahu anhu memiliki perhatian yang sangat besar terhadap peringatan Maulid Nabi. Dalam sebuah kesempatan beliau menuturkan :

“BARANG SIAPA MENDATANGI SEBUAH TEMPAT DIMANA DISANA DIBACAKAN MAULID NABI, MAKA DIA TELAH MENDATANGI SEBUAH TAMAN SURGA. SEBAB, TUJUANNYA MENDATANGI TEMPAT ITU ADALAHA TIDA LAIN UNTUK MENGUNGKAPKAN RASA CINTANYA KEPADA RASULULLAH SAW, SEDANGKAN RASULULLAH SAW BERSABDA :

“Barang siapa mencintaiku, maka dia bersamaku di Surga” (Abu Bakar Bin Muhammad Syatha Ad-Dimyathi, I anathuth Thalibin Darul Fikr, juz3, hal 255)

March 10, 2008 Posted by | Kisah Sufi, Syeikh As-Sariy As-Saqqathy RA | 1 Comment