Daris Rajih

Search…View…Copy…Paste…

Burung Sehat & Burung Cacat

Syaqiiq al-Balkhi adalah teman Ibrahim bin Adham yang dikenal ahli ibadah, zuhud dan tinggi tawakalnya kepada Allah. Hingga pernah sampai pada tataran enggan untuk bekerja.

Penasaran dengan keadaan temannya, Ibrahim bin Adham bertanya,

“Apa sebenamya yang menyebabkan Anda bisa seperti ini?”

Syaqiiq menjawab,

“Ketika saya sedang dalam perjalanan di padang yang tandus, saya melihat seekor burung yang patah kedua sayapnya.

Lalu saya berkata dalam hati, aku ingin tahu, dari mana burung itu mendapatkan rizki. Maka aku duduk memperhatikannya dari jarak yang dekat.

Tiba-tiba datanglah seekor burung yang membawa makanan di paruhnya. Burung itu mendekatkan makanan ke paruh burung yang patah kedua sayapnya untuk menyuapinya.

Maka saya berkata dalam hati, “Dzat yang mengilhami burung sehat untuk menyantuni burung yang patah kedua sayapnya di tempat yang sepi ini pastilah berkuasa untuk memberiku rejeki di manapun aku berada.”

Maka sejak itu, aku putuskan untuk berhenti bekerja dan aku menyibukkan diriku dengan ibadah kepada Allah.

Mendengar penuturan Syaqiiq tersebut Ibrahim berkata,

“Wahai Syaqiiq, mengapa kamu serupakan dirimu dengan burung yang cacat itu? Mengapa Anda tidak berusaha menjadi burung sehat yang memberi makan burung yang sakit itu?

Bukankah itu lebih utama?

Bukankah Nabi bersabda,

“Tangan di atas lebih baik daripada tangan di bawah?”

Sudah selayaknya bagi seorang mukmin memilih derajat yang paling tinggi dalam segala urusannya, sehingga dia bisa mencapai derajat orang yang berbakti?

Syaqiiq tersentak dengan pernyataan Ibrahim dan ia menyadari kekeliruannya dalam mengambil pelajaran. Serta merta diraihnya tangan Ibrahim dan dia cium tangan itu sambil berkata, “Sungguh. Anda adalah ustadzku, wahai Abu Ishaq (Ibrahim).”

(Tarikh Dimasyqi, Ibnu Asakir)

Sumber : ar-risalah No. 112 / Vol. X / 04 Syawal – Dzhulqa’dah 1431 H / Oktober 2010

January 3, 2011 Posted by | Ibrahim Bin Adham | 3 Comments

Imam Hambali & Tukang Roti

Pada salah satu perjalanan Imam Hambali, di sebuah kota. Saking lelahnya, sang Imam beristirahat di masjid. Belum juga beristirahat, tiba-tiba sang merbot masjid itu mengusir Imam Hambali. Sang Imam hanya terdiam dan berjalan keluar masjid. Beliau lalu duduk di teras masjid, namun lagi-lagi sang merbot, yang tidak mengenal sang Imam, datang dan mengusirnya, bahkan menarik kaki sang Imam hingga ke seberang masjid. Sang Imam hanya menangis, dan persis di depannya, seorang tukang roti yang sedang sibuk membuat adonan rotinya mempersilakan sang Imam beristirahat di tokonya.

Selanjutnya, Imam Hambali memperhatikan si tukang roti itu. Hal yang berkesan darinya adalah setiap kali menggiling setiap kali itu pula tukang roti itu berdzikir mengucap asma ALLOH SWT “..SUBHANALLOH.. WALHAMDULILLAH.. ALLOHU AKBAR..”

Terbit tanya dari sang Imam kepada si tukang roti, “berapa lama engkau melakukan itu?”

“sudah 10 tahun saya melakukan ini, hei orang asing” jawabnya.

“lalu apa yang kau dapatkan dari hal itu?” lanjut sang Imam.

Kemudian tukang roti ini menjelaskan bahwa selama 10 tahun itulah semua keinginannya selalu dipenuhi oleh ALLOH SWT, namun ada satu keinginannya yang sampai saat ini belum terpenuhi.

“apakah itu?” tanya Imam Hambali.

“hingga saat ini, saya berkeinginan dipanjangkan umur saya supaya bisa bertemu dengan Imam Hambali..” jawabnya.

SUBHANALLOH.. ternyata ALLOH sungguh memuliakan tukang roti tersebut, tidak hanya sekedar bertemu, ALLOH SWT menarik kaki sang Imam untuk singgah di tokonya.. SUBHANALLOH..

Pesan kisah ini adalah untuk selalu mengingat dan memuja ALLOH SWT, dan barangsiapa tidak pernah melepas dzikirnya, Insya ALLOH, kemuliaan selalu didapatnya, amin

January 3, 2011 Posted by | Imam Hambali | 5 Comments

Seperti Akhwari Yang Tetap Berlari Untuk Bangsa & Negara

……..Siapapun yang memandang kehormatan sebagai sesuatu yang penting, maka dia pasti akan bekerja keras, gigih dan bertekad kuat untuk melakukan yang terbaik. Karena itu, kehormatan sesungguhnya adala hal yang sangat layak kita pertaruhkan.

Event Olimpiade di Meksiko tahun 1968, menyisakan sebuah cerita kegigihan yang menarik untuk kita simak. Ketika itu, peraih medali lomba marathon telah usai diumumkan. Para penonton pun sudah mulai beranjak meninggalkan stadion. Namun sesaat kemudian, mereka dikejutkan dengan pengumuman bahwa masih ada pelari yang akan segera memasuki stadion. Penonton pun kaget, mereka mengira perlombaan telah selesai. Tak lama, dari kejauhan terlihat seorang pelari masuk stadion dengan terpincang-pincang. Masih lengkap dengan pakaian larinya serta nomor di dadanya, tapi hanya bisa berlari-lari kecil karena kaki kanannya terlukan dan berbalut perban.

Serentak seluruh penonton berdiri dan bertepuk tangan. Stadion kembali bergemuruh memberikan penghormatan. Mereka menyemangati pelari ini untuk terus berlari hingga finish. Suara dukungan diteriakkan untuknya. Dan ini membuat pelari tersebut terus bersemangat hingga kemudian menyentuh garis finish. Dia berhasil, di saat tidak ada lagi pelari lain yang tersisa. Dia adalah pelarih terakhir dalam perlombaan itu. Dia finish saat hari telah malam.

Dialah John Stephen Akhwari, pelari dari Tanzania, yang mewakili negaranya di event itu. Dia cedera karena di tengah perlombaan sempat terjatuh, sehingga lutut dan betisnya terluka. Akan tetapi, keadaan itu tidak menyurutkan semangatnya untuk mengakhiri lomba berjarak sepanjang puluhan mil itu. Ketika ditanya oleh wartawan mengapa ia tidak mengundurkan diri saja, dia menjawab sederhana tapi penuh makna.

“My country did not send me to Mexico City to start the race. But They sent me to finish!”.(negara saya tidak mengirim saya hanya untuk memulai perlombaan, tetapi mengirim saya untuk menyelesaikan perlombaan).

Akhwari memang tidak merebut medali perunggu, perak, apalagi emas. Tapi dia juga pemenang. Bahkan pemenang yang luar biasa. Dia telah membuktikan kepada dunia apa yang dinamakan kehormatan. Dia adalah contoh bagaimana menyelesaikan sesuatu yang telah dimulainya. Dia adalah teladan dalam memperjuangkan kehormatannya.

Dia adalah cermin kesungguhan dan kejujuran dalam berbuat, bagi kita yang sering kalah setelah memulai, hanya oleh hambatan-hambatan kecil. Dia adalah contoh pejuang kehormatan untuk bangsanya dan keluarga besarnya. Jika kita jauh dari keluarga karena menuntut ilmu, maka pelihara kehormatan mereka dengan belajar yang rajin. Jika kita meninggalkan mereka untuk urusan nafkah, jaga kehormatan mereka dengan mencari pekerjaan-pekerkaann yang halal dan legal. Bekerjalah dengan gigih dan jangan mudah menyerah.

dikutip dari Rubrik Dirosat (Kajian Utama) Majalah Tarbawi Edisi 236, Th. 12…sedikit disunting/edit.

January 3, 2011 Posted by | Kisah Hikmah | Leave a comment

Cerita Seorang Ibu Tentang Anak-Anaknya

Alkisah, beberapa tahun yang silam, seorang pemuda terpelajar dari Surabaya sedang berpergian naik pesawat ke Jakarta. Di sampingnya duduk seorang ibu yang sudah berumur. Si pemuda menyapa, dan tak lama mereka terlarut dalam obrolan ringan.

”Ibu, ada acara apa pergi ke Jakarta?”, tanya si pemuda. “Oh… saya mau ke Jakarta terus “connecting flight” ke Singapore nengokin anak saya yang ke-2”, jawab ibu itu.

”Wow, hebat sekali putra ibu”, pemuda itu menyahut dan terdiam sejenak.

Pemuda itu merenung. Dengan keberanian yang didasari rasa ingin tahunya, pemuda itu melanjutkan pertanyaannya.
”Kalau saya tidak salah, anak yang di Singapore tadi, putra yang ke-2 ya bu? Bagaimana dengan kakak adik-adiknya?”

”Oh ya tentu”, si Ibu bercerita:
”Anak saya yang ke-3 seorang dokter di Malang, yang ke-4 kerja di perkebunan di Lampung, yang ke-5 menjadi arsitek di Jakarta, yang ke-6 menjadi kepala cabang bank di Purwokerto, yang ke-7 menjadi Dosen di Semarang.”

Pemuda tadi diam, hebat ibu ini, bisa mendidik anak-anaknya dengan sangat baik, dari anak ke-2 sampai ke-7.

”Terus bagaimana dengan anak pertama ibu?”

Sambil menghela napas panjang, ibu itu menjawab, ”Anak saya yang pertama menjadi petani di Godean Jogja, nak”. Dia menggarap sawahnya sendiri yang tidak terlalu lebar.”

Pemuda itu segera menyahut, “Maaf ya Bu……kalau ibu agak kecewa ya dengan anak pertama ibu, adik-adiknya berpendidikan tinggi dan sukses di pekerjaannya, sedangkan dia cuma menjadi petani.“

Dengan tersenyum ibu itu menjawab, ”Ooo, tidak, tidak begitu nak…justru saya sangat bangga dengan anak pertama saya, karena dialah yang membiayai sekolah semua adik-adiknya dari hasil dia bertani.”

Pelajaran Hari Ini: Semua orang di dunia ini penting. Buka matamu, pikiranmu,
hatimu.

January 3, 2011 Posted by | Kisah Hikmah | Leave a comment

Mukjizat RASULULLAH SAW

Mukjizat Muhammad adalah kemampuan luar biasa yang dimiliki nabi Muhammad untuk membuktikan kenabiannya. Dalam Islam, mukjizat terbesar Muhammad adalah Al-Qur’an. Selain itu, Muhammad juga diyakini pernah membelah bulan pada masa penyebaran Islam di Mekkah dan melakukan Isra dan Mi’raj tidak sampai satu hari.

Kemampuan lain yang dimiliki Muhammad adalah kecerdasannya mengenai ilmu ketuhanan. Hal ini tidak sebanding dengan dirinya yang ummi atau buta huruf. Walau begitu, umat Islam meyakini bahwa setiap hal dalam kehidupan Muhammad adalah mukjizat. Hal itu terbukti dari banyaknya kumpulan hadits yang diceritakan para sahabat mengenai berbagai mukjizat Muhammad. Berikut ini adalah 62 mukjizat yang dimiliki nabi Muhammad :

Masa Kecil Muhammad

1. Aminah binti Wahab, ibu Muhammad pada saat mengandung Muhammad tidak pernah merasa lelah seperti wanita pada umumnya.
2. Saat melahirkan Muhammad, Aminah binti Wahab tidak merasa sakit seperti wanita sewajarnya.
3. Muhammad dilahirkan dalam keadaan sudah berkhitan.
4. Pada usia 5 bulan ia sudah pandai berjalan, usia 9 bulan ia sudah mampu berbicara dan pada usia 2 tahun ia sudah bisa dilepas bersama anak-anak Halimah yang lain untuk menggembala kambing.
5. Halimah binti Abi-Dhua’ib, ibu susuan Muhammad dapat menyusui kembali setelah sebelumnya ia dinyatakan telah kering susunya. Halimah dan suaminya pada awalnya menolak Muhammad karena yatim. Namun, karena alasan ia tidak ingin dicemooh Bani Sa’d, ia menerima Muhammad. Selama dengan Halimah, Muhammad hidup nomaden bersama Bani Sa’d di gurun Arab selama empat tahun.
6. Abdul Muthalib, kakek Muhammad menuturkan bahwa berhala yang ada di Ka’bah tiba-tiba terjatuh dalam keadaan bersujud saat kelahiran Muhammad. Ia juga menuturkan bahwa ia mendengar dinding Ka’bah berbicara, “Nabi yang dipilih telah lahir, yang akan menghancurkan orang-orang kafir, dan membersihkan dariku dari beberapa patung berhala ini, kemudian memerintahkan untuknya kepada Zat Yang Merajai Seluruh Alam Ini.”
7. Dikisahkan saat Muhammad berusia empat tahun, ia pernah dibedah perutnya oleh dua orang berbaju putih yang terakhir diketahui sebagai malaikat. Peristiwa itu terjadi di ketika Muhammad sedang bermain dengan anak-anak Bani Sa’d dari suku Badui. Setelah kejadian itu, Muhammad dikembalikan oleh Halimah kepada Aminah. Sirah Nabawiyyah, memberikan gambaran detai bahwa kedua orang itu, “membelah dadanya, mengambil jantungnya, dan membukanya untuk mengelurkan darah kotor darinya. Lalu mereka mencuci jantung dan dadanya dengan salju.” Peristiwa seperti itu juga terulang 50 tahun kemudian saat Muhammad diisra’kan ke Yerusalem lalu ke Sidratul Muntaha dari Mekkah.
8. Dikisahkan pula pada masa kecil Muhammad, ia telah dibimbing oleh Allah. Hal itu mulai tampak setelah ibu dan kakeknya meninggal. Dikisahkan bahwa Muhammad pernah diajak untuk menghadiri pesta dalam tradisi Jahiliyah, namun dalam perjalanan ke pesta ia merasa lelah dan tidur di jalan sehingga ia tidak mengikuti pesta tersebut.
9. Pendeta Bahira menuturkan bahwa ia melihat tanda-tanda kenabian pada diri Muhammad. Muhammad saat itu berusia 12 tahun sedang beristirahat di wilayah Bushra dari perjalannya untuk berdagang bersama Abu Thalib ke Syiria. Pendeta Bahira menceritakan bahwa kedatangan Muhammad saat itu diiringi dengan gumpalan awan yang menutupinya dari cahaya matahari. Ia juga sempat berdialog dengan Muhammad dan menyaksikan adanya sebuah “stempel kenabian” (tanda kenabian) di kulit punggungnya.
10. Mukjizat lain adalah Muhammad pernah memperpendek perjalanan. Kisah ini terjadi saat pulang dari Syiria. Muhammad diperintahkan Maisarah membawakan suratnya kepada Khadijah saat perjalanan masih 7 hari dari Mekkah. Namun,

Continue reading

January 3, 2011 Posted by | Kisah Sufi | 2 Comments

Jeleknya Berdebat & Berbantahan Mengenai Agama

126. Abul Harits berkata, saya mendengarImam Ahmad (Abu Abdillah) berkata :

“Apabila kamu lihat seseorang suka berdebat maka jauhilah dia.”

Dan diceritakan kepadaku tentang Abu Imran Al Ashbahani ia berkata, saya mendengar Imam Ahmad berkata : “Jangan duduk dengan orang yang suka berdebat meskipun untuk membela As Sunnah sebab sesungguhnya yang demikian tidak akan berubah menuju kebaikan.”

Maka jika ada yang berkata : “Anda telah memperingatkan kami agar menjauhi perbantahan, percekcokan, debat dan berdiskusi dan kami tahu ini adalah kebenaran dan merupakan jalannya ulama dan para shahabat serta orang-orang yang berakal dari kaum Mukminin dan ulama yang berpandangan tajam (memiliki bashirah). Seandainya seseorang mendatangi saya dan menanyakan suatu perkara dari ahwa ini yang telah nyata dan tentang madzhab-madzhab rusak yang telah tersebar dan ia mengajak dialog dengan sesuatu yang menuntut jawaban dari saya sedangkan saya termasuk orang yang dianugerahi Allah Yang Maha Mulia ilmu dan bashirah untuk menjawab dan membongkar syubhatnya itu. Apakah saya harus tinggalkan dia mengatakan apa yang dia inginkan dan tidak dijawab dan saya biarkan dia dengan hawa nafsunya serta bid’ahnya itu dan saya tidak membantah ucapannya yang rusak tersebut?”

Maka saya katakan di sini : “Ketahuilah saudaraku –semoga Allah merahmatimu–. Sesungguhnya ujian yang kamu hadapi dari orang yang seperti ini tidak terlepas dari salah satu dalam tiga hal :

Continue reading

January 3, 2011 Posted by | Kisah Hikmah | Leave a comment

Imam Hasan al Banna Ajarkan cara membantah

Sebuah artikel yang dimuat di harian umum Al-Ahraam telah membuat Hasan al Banna dan murid-muridnya gelisah. Bagaimana tidak, artikel yang ditulis oleh si Fulan itu berisi pemikiran yang sangat bertentangan dengan nilai-nilai Islam. Si Fulan mengatakan bahwa tidak ada kewajiban bagi manusia untuk menutup auratnya. Sebab secara fitrah, setiap manusia dilahirkan dalam keadaan telanjang. Maka ia menyerukan agar budaya telanjang itu dilestarikan di tengah masyarakat Mesir.

Tak pelak, umat Islam di Mesir marah. Mereka pun langsung membuat artikel bantahan dan siap dikirim ke harian umum yang sama. Namun sebelum itu, mereka mengutus seorang muslim bernama Mahmoud yang merupakan penulis artikel bantahan itu, untuk meminta pendapat dan izin dari Hasan al Banna.

Ya, Ustad. Bagaimana pendapat Anda? tanya Mahmoud pada Sang Imam yang tampak terdiam lama setelah membaca artikel bantahan itu.

Saudaraku, artikelmu ini sangat bagus dan penuh argumentasi yang jitu.

Tapi kata Sang Imam.

Tapi apa ya, Ustad? tanya Mahmoud heran. Wajah ulama yang teduh itu berubah galau. Ditatapnya artikel bantahan yang tergenggam di tangannya.

Dalam pikiranku, tergambar beberapa dampak dari tulisanmu ini jika jadi dimuat, ujar Sang Imam pelan sambil kembali menatap Mahmoud. Pertama, artikel yang ditulis si Fulan itu sangatlah tajam, menusuk hati kaum Muslimin. Sementara konsumen pembaca harian Al-Ahraam itu sendiri relatif sedikit dibanding jumlah penduduk Mesir secara keseluruhan. Rata-rata mereka tidak membacanya dengan serius, jelas Hasan Al Banna.

Mahmoud menyimak uraian Sang Imam dengan hati bertanya-tanya. Ia belum paham maksud gurunya itu. Jika kita menurunkan bantahan terhadap artikel tersebut, akan timbul beberapa titik rawan. Di antaranya, justru akan mengekspose artikel tersebut dan memancing keingintahuan bagi mereka yang belum membacanya. Sementara yang sudah membaca, akan kembali terpancing untuk membaca dengan serius. Dengan demikian, tanpa sadar kita telah memicu perhatian masyarakat kepada sesuatu yang buruk, yang bisa saja mendatangkan mudarat bagi orang-orang yang berjiwa lemah. Kalau artikel si Fulan itu kita diamkan saja, insya Allah ia akan tenggelam dengan sendirinya, tutur Sang Imam pelan.

Mahmoud masih tampak belum puas dengan penjelasan itu, meski ia mulai bisa meraba maksud gurunya.

Saudaraku, bantahan adalah salah satu bentuk tantangan yang akan memancing sikap keras bagi yang dibantah. Dan sekalipun ia menyadari bahwa ia salah, tapi bantahan itu akan membuatnya bersikukuh kepada kesalahannya. Ketahuilah saudaraku, si Fulan itu telah terpengaruh oleh sebuah lingkungan yang membuatnya berpikir seperti itu. Dan aku melihat, tujuannya menulis artikel itu bukanlah untuk mengungkapkan apa yang menjadi keyakinannya. Melainkan sekadar mencari perhatian dengan cara menghalalkan segala cara.

Saudaraku, jika sampai si Fulan bersikukuh dalam kesalahan itu akibat bantahan yang kita sampaikan, maka secara tidak langsung kita telah menghalangi pintu tobat baginya. Si Fulan itu masih muda. Membukakan pintu kebenaran baginya jauh lebih baik daripada melemparkannya jauh-jauh dari kebenaran yang sebenarnya menjadi hak dia. Justru kewajiban kitalah untuk membantunya meraih kebenaran itu. Aku tidak ingin, emosi yang bermain dalam dada kita membuat seseorang terhalang dari hidayah Allah. Begitulah pemikiranku. Bagaimana menurutmu, Akhi? Sang Imam menutup penjelasannya.

Mahmoud yang sejak tadi diam menatapnya, perlahan menunduk. Kini semakin disadarinya betapa Sang Imam adalah manusia yang sangat bijak. Sosok yang penuh kharisma dan telah melebur ke dalam kancah dakwah secara jasad, ruh, akal, dan hartanya. Pengetahuan yang dalam dan hubungannya yang erat dengan Allah SWT telah menjadikan pandangannya demikian luas, nalurinya peka, mata hatinya tajam, jauh menembus ke depan. Ya, ia telah dianugerahi budunnazar (pandangan yang jauh ke depan), sesuatu yang jarang dimiliki oleh orang biasa.

Perlahan Mahmoud mengangkat kepalanya. Ditatapnya wajah Sang Imam sambil tersenyum. Anda benar sekali ya, Ustad. Saya setuju dengan pendapat Anda, ujar Mahmoud.

***

Waktu terus berlalu, artikel si Fulan yang membahayakan itupun berlalu begitu saja. Masyarakat sepertinya tidak terusik sama sekali. Namun, apakah yang terjadi pada si Fulan sendiri? Sejarahlah kemudian yang mencatat bahwa ia menjelma menjadi sosok paling heroik di kancah dakwah.

Ia telah mempersembahkan kepada ummat, tafsir Alquran yang sangat luar biasa Fi Zilalil Quran, yang ia tulis selama di dalam penjara. Dialah Sayyid Quthub!

January 3, 2011 Posted by | Kisah Hikmah | Leave a comment

Kisah Nyata Seorang Pemuda Arab Yang Menimba Ilmu Di Amerika

Ada seorang pemuda arab yang baru saja me-nyelesaikan bangku kuliahnya di Amerika. Pemuda ini adalah salah seorang yang diberi nikmat oleh Allah berupa pendidikan agama Islam bahkan ia mampu mendalaminya. Selain belajar, ia juga seorang juru dakwah Islam. Ketika berada di Amerika, ia berke-nalan dengan salah seorang Nasrani. Hubungan mere-ka semakin akrab, dengan harapan semoga Allah SWT memberinya hidayah masuk Islam.

Pada suatu hari mereka berdua berjalan-jalan di sebuah perkampungan di Amerika dan melintas di dekat sebuah gereja yang terdapat di kampung tersebut. Temannya itu meminta agar ia turut masuk ke dalam gereja. Semula ia berkeberatan. Namun karena ia terus mendesak akhirnya pemuda itupun memenuhi permintaannya lalu ikut masuk ke dalam gereja dan duduk di salah satu bangku dengan hening, sebagaimana kebiasaan mereka. Ketika pendeta masuk, mereka serentak berdiri untuk memberikan penghor-matan lantas kembali duduk.

Di saat itu si pendeta agak terbelalak ketika meli-hat kepada para hadirin dan berkata, “Di tengah kita ada seorang muslim. Aku harap ia keluar dari sini.” Pemuda arab itu tidak bergeming dari tempatnya. Pendeta tersebut mengucapkan perkataan itu berkali-kali, namun ia tetap tidak bergeming dari tempatnya. Hingga akhirnya pendeta itu berkata, “Aku minta ia keluar dari sini dan aku menjamin keselamatannya.” Barulah pemuda ini beranjak keluar.
Di ambang pintu ia bertanya kepada sang pen-deta, “Bagaimana anda tahu bahwa saya seorang mus-lim.” Pendeta itu menjawab, “Dari tanda yang terdapat di wajahmu.” Kemudian ia beranjak hendak keluar. Namun sang pendeta ingin memanfaatkan keberadaan pemuda ini, yaitu dengan mengajukan beberapa per-tanyaan, tujuannya untuk memojokkan pemuda terse-but dan sekaligus mengokohkan markasnya. Pemuda muslim itupun menerima tantangan debat tersebut.

Continue reading

January 3, 2011 Posted by | Kisah Hikmah | 2 Comments

Kecerdasan Imam Al-Layts

Imam al-Layts bin Sa’d adalah seorang ulama fiqih yang memiliki kapasitas keilmuan setingkat imam-imam madzhab yang empat, bahkan ada para ulama yang mengunggulkannya atas imam Malik dari segi keilmuan. Sayang, tidak ada murid atau pengikut yang menyebarkan madzhab fiqihnya sehingga tidak berkembang seperti para imam madzhab yang empat.

Dari Lu’luah, pelayan khalifah Harun ar-Rasyid, ia berkata, “Terjadi silang pendapat antara Harun ar-Rasyid dan anak perempuan pamannya (sepupunya), Zubaidah yang telah menjadi isterinya. Harun berkata, ‘Kamu ditalak bila aku bukan termasuk ahli surga.’ Kemudian beliau menyesal atas ucapannya itu, lalu mengundang para ahli fiqih agar berkumpul guna memecahkan masalahnya. Setelah berkumpul dan berdiskusi, mereka pun berbeda pendapat bagaimana sebenarnya status sumpahnya tersebut. Khalifah Harun menulis surat kepada seluruh negeri agar menghadirkan para ulama terkemuka mereka ke istana. Tatkala mereka sudah berkumpul, ia menanyai mereka mengenai sumpahnya tersebut, yaitu “Kamu ditalak jika aku tidak masuk surga”. Mereka kembali berselisih pendapat, lalu tinggallah seorang ulama (syaikh) lagi yang belum berbicara dan berada di deretan paling akhir dari majlis tersebut. Beliau lah Imam al-Layts bin Sa’d. Ia berkata, ‘Bila Amirul Mukminin mengosongkan majlsnya ini, aku bersedia berbicara dengannya.’ Lalu sang khalifah pun menyuruh para ulama yang ada disitu untuk meninggalkan majlis tersebut. Ia berkata lagi, ‘Saya mohon Amirul Mukminin didekatkan kepadaku.’ Maka ia pun mendekatinya. Syaikh yang ‘Alim ini berkata, ‘Apakah aku mendapatkan jaminan keamanan kalau berbicara.?” Amirul Mukminin menjawab, ‘Ya.’ Maka al-Layts memerintahkan agar dibawa kepadanya sebuah mushaf. Ketika mushaf itu sudah dihadirkan, ia berkata, ‘Tolong dibuka wahai Amirul Mukminin hingga surat ar-Rahman. Lalu bacalah.’ Sang khalifah membacanya dan tatkala ia sampai pada ayat, “Dan bagi orang yang takut akan saat menghadap Tuhannya ada dua surga” (QS.ar-Rahman:46) maka, al-Layts memerintahkan, ‘Tahan dulu, wahai Amirul Mukminin! Katakanlah, Wallaahi (Demi Allah).’ Ucapan syaikh ini membuat berat hati khalifah. Syaikh itu kembali berkata, ‘Wahai Amirul Mukminin, persyaratanku tadi adalah jaminan keamanan bukan.? (maksudnya, agar khalifah tidak mruka kepadanya atas permintaannya tersebut-red) Maka khalifah pun mengucapkan, ‘Wallaahi (Demi Allah),’ setelah itu berkatalah al-Layts, ‘Katakanlah, ‘Aku takut akan saat menghadap Tuhanku’ Maka khalifah menuruti perintah ulama langka itu dan mengulangi seperti apa yang diucapkannya. Al-Layts berkata lagi, ‘Wahai Amirul Mukminin, pahalanya dua surga bukan hanya satu surga.’!”

Periwayat mengatakan, “Lalu kami mendengar suara tepuk tangan dan luapan gembira di balik tirai. Maka berkatalah Harun ar-Rasyid, ‘Bagus apa yang kau putuskan itu.’ Lalu ia menghadiahi al-Layts dengan beberapa hadiah dan mengalokasikan honor untuknya.”

Ini merupakan sikap mulia yang menunjukkan indahnya ilmu di mana kebenaran dan etika sama-sama dijunjung tinggi.

Anda melihat bahwa Imam al-Layts mengetahui kemana arah fatwa, yaitu thalaq tersebut tidak jatuh bila ar-Rasyid adalah termasuk orang yang takut akan saat menghadap Tuhannya. Ia juga melihat dirinya tidak boleh mengeluarkan fatwa begitu saja hingga syaratnya sudah kuat, yaitu takut kepada Allah Ta’ala. Dan ini dilakukan dengan cara meminta ar-Rasyid bersumpah hingga diri al-Layts merasa tenang bahwa fatwanya sudah benar. Ia juga meminta agar orang-orang yang ada di majlis dibubarkan dulu agar sumpah yang dimintanya dari ar-Rasyid tidak dilihat orang banyak, di samping agar ar-Rasyid tidak terpancing seperti yang ingin dilakukannya andaikata ia (al-Layts) tidak terlebih dahulu mengajukan persyaratan mendapatkan perlindungan darinya supaya dirinya bisa tentram. Jadi, fatwa yang dikeluarkan al-Layts tidak semata-mata spontanitas. Ia bersumber dari al-Qur’an itu sendiri, karena itu ia meminta al-Layts agar membaca ayat tersebut, “Dan bagi orang yang takut akan saat menghadap Tuhannya ada dua surga” (QS.ar-Rahman:46).

Maka tenanglah hati ar-Rasyid dengan hal itu dan tahulah ia bawha dirinya masih bisa mempertahankan isterinya secara halal dan sah berdasarkan nash yang pasti dari Kalamullah.

Ini tentunya merupakan anugerah Allah, yang dalam kebanyakan kondisi tidak terlepas dari adab yang bagus bagi orang yang mau berpikir dan memahami.

January 3, 2011 Posted by | Imam Al-Layts | Leave a comment