Daris Rajih

Search…View…Copy…Paste…

Pengetahuan-Tindakan-Cinta

Cinta adalah Jalan menuju Kebenaran, Pengetahuan, Tindakan.

Tetapi hanya mereka yang mengetahui cinta sejati dapat mendekatinya dengan sarana cinta. Lainnya salah mengerti perasaan-perasaan lain terhadap cinta sejati tersebut.

Paling lemah dari semuanya adalah mereka yang mengidealkan cinta dan mencari untuk mendekatinya sebelum mereka memberinya sesuatu; atau mengambil sesuatu darinya.

Kebenaran adalah Jalan menuju Cinta, Pengetahuan, Tindakan. Tetapi hanya mereka yang dapat menemukan Kebenaran sejati dapat mengikuti Jalannya sebagai Jalan. Lainnya (tidak dengan benar karena mereka mayoritas) membayangkan bahwa mereka mungkin menemukan Kebenaran, kendati mereka tidak tahu ke mana mencarinya, sejak apa yang mereka sebut kebenaran adalah sesuatu yang kurang.

Pengetahuan adalah jalan menuju Tindakan, Cinta, Kebenaran. Tetapi karena bukan jenis pengetahuan yang dipertahankan masyarakat, mereka tidak mendapatkan manfaat darinya. Di mana saja, tetapi mereka tidak dapat melihatnya, dan menyebutnya sementara ada di samping sepanjang masa.

Tindakan, juga, adalah Jalan. Adalah Jalan menuju Cinta, Kebenaran, Pengetahuan. Tetapi tindakan apa, kapan dan di mana? Bertindak dengan siapa, dan apa tujuannya? Apa jenis tindakan yang kita maksudkan saat kita mengatakannya sebuah Jalan? Tindakan yang berbeda tersebut sebagai maksud, yang mungkin manusia menjalankannya tanpa mengetahuinya. Lagi, secara umum ia akan membenamkan dalam tindakan jenis lain, bahwa ia tidak akan dapat melakukan tindakan yang dibutuhkannya.

Jadi, kendati kita mungkin salah menilai karena mengatakan ini, kita menguatkan sebagai kenyataan, bahwa: Kebenaran Mulia memberkahi Guru dengan memahami pengetahuan tentang Jalan. Marilah kita tidak lagi berceloteh “Aku mencari Cinta”; “Aku menginginkan Pengetahuan”; “Aku mengharapkan Kebenaran”; “Tujuanku adalah Tindakan”; kecuali kalau kita ingin orang mengetahui bahwa kita hampa, dan sesungguhnya tidak mencari apa-apa.

Cinta adalah Tindakan; Tindakan adalah Pengetahuan; Pengetahuan adalah Kebenaran; Kebenaran adalah Cinta.

(Rauf Mazari, Niazi)

January 27, 2009 Posted by | Kisah Hikmah | Leave a comment

Kebenaran Itu Sendiri

Ketika Sufi berkata, “Ini sendiri merupakan kebenaran,” ia mengatakan, “Karena saat ini dan orang ini dan tujuan ini, kita harus memusatkan perhatian kita seolah kebenaran itu sendiri.”

Dalam melakukan ini, Sufi membantumu dengan mengajari engkau, seyakin seperti yang dikatakan guru sekolah, “Ini A dan ini B, ini sendiri adalah kebenaran selama masa kita mempelajarinya.

Dengan cara ini orang belajar kemampuan membaca dan menulis. Dengan cara ini orang mempelajari wujud benda yang sebenarnya (metafisika).

Namun orang-orang tanpa pemahaman yang peka sering menyerang Sufi karena berperilaku demikian, karena mereka sendiri kurang sabar dan kurang bekerjasama. Bila engkau tidak memberi kesempatan kepada seseorang untuk mengerjakan tugas ini, maka engkau dapat menuduhnya terlalu berdedikasi.

Ingat, jika anjing menggonggong dan suaranya mengganggumu, bisa jadi itu tanda bahaya darinya — kalau engkau menganggap anjing itu menggonggong kepadamu. Engkau sudah salah paham terhadapnya.

(Hakim Tahirjan dari Kafkaz)

January 27, 2009 Posted by | Sufisme | Leave a comment

Kalau Aku Mati

Sekarang, kalau aku mati, mungkin engkau membaca suatu kebenaran tentang Sufi. Sudahkah informasi ini diberikan kepadamu, langsung atau tidak langsung, saat aku berada diantara kalian, kalian semua, menerima sedikit, menyuburkan ketamakan dan mencintai keajaibannya sendiri.

Maka ketahuilah, bahwa apa yang dilakukan guru Sufi untuk dunia dan masyarakatnya, besar dan kecil, sering tidak terlihat oleh para peneliti.

Seorang guru Sufi menggunakan kekuatannya untuk mengajar, mengobati, membuat manusia bahagia dan sebagainya, sesuai pertimbangan paling baik dalam menggunakan kekuatan. Jika ia tidak menunjukkan keajaiban padamu, bukan berarti ia tidak dapat melakukannya. Jika ia kurang menguntungkan dirimu dengan cara yang engkau harapkan, bukan berarti ia tidak mampu. Ia menguntungkan dirimu sesuai dengan kebutuhanmu, kelayakanmu, bukan menjawab tuntutanmu. Ia mempunyai tugas yang lebih tinggi; inilah apa yang ia penuhi.

Banyak diantara kalian sudah merubah hidupmu, diselamatkan dari berbagai risiko, diberi banyak kesempatan — tidak satu pun dari kalian mengenalinya sebagai sebuah manfaat. Namun demikian, engkau memiliki manfaat ini.

Banyak dari kalian, kendati tengah mencari kehidupan yang lebih utuh, sama sekali tidak akan memiliki kehidupan bila tidak berusaha untuk Komunitas Sahabat. Banyak dari kalian yang miskin, akan dikutuk seandainya kaya. Banyak diantara kalian tetap kaya, karena adanya Manusia Bijak. Banyak diantara kalian yang ada di sekolahku berpikir bahwa kalian sudah kuajari. Kenyataannya, engkau hadir secara fisik dalam pertemuan-pertemuan kalian, sementara pikiran kalian ada di pertemuan lainnya.

Semua ini begitu asing bagi kebiasaan pemikiran kalian, bahwa engkau belum siap dalam posisi mengenalinya.

Tugasku adalah memberi manfaat. Tugas untuk membuat manfaat tersebut dapat engkau mengerti, adalah tugas orang lain.

Tragedimu adalah, sementara menungguku bersedia memberimu keajaiban dan membuat perubahan yang dapat dimengerti untukmu, engkau telah menciptakan keajaiban yang tidak kulakukan, dan membangun kesetiaan padaku, yang sama sekali tidak berarti. Dan engkau membayangkan “perubahan” dan “bantuan” dan “pelajaran” yang tidak terjadi (berlangsung). “Perubahan”, “bantuan”, “pelajaran”, bagaimanapun ada di sana. Sekarang temukan apa sebenarnya itu semua. Jika engkau terus berpikir dan melakukan apa yang sudah aku katakan, engkau bekerja dengan materi-materi kemarin, yang sudah digunakan.

(Mirza Abdul Hadi Khan dari Bukhara)

January 27, 2009 Posted by | Sufisme | 1 Comment

Berkah

Engkau yang berbicara tentang Berkah, mungkin musuh dari Berkah itu sendiri. Laki-laki maupun perempuan seharusnya menjadi musuh dari apa yang ingin ia cintai yang melekat dalam diri manusia — tetapi hanya beberapa jenis manusia.

Dalam bahasa biasa, Berkah adalah sesuatu, yang melalui pengaruh keilahian, menyelamatkan manusia. Ini kebenaran; tetapi selamat hanya untuk sebuah tujuan. Lagi, dalam pembicaraan biasa, masyarakat berusaha memanfaatkan Berkah untuk memberi mereka sesuatu. Ini keserakahan yang samar. Orang-orang yang bertakhayul meminta Berkah dari makam orang suci. Memang ada, tetapi apa yang mereka dapatkan bukan Berkah, kecuali kalau tujuannya benar. Berkah melekat pada sesuatu seperti halnya pada masyarakat, tetapi hanya diberikan kepada yang layak. Karena tujuan praktis Berkah, sama sekali tidak ada di sana.

Ketika tidak ada Berkah sejati, dari kehausan manusia seperti itu, maka emosionalitasnya dianggap berasal dari harapan dan ketakutannya terhadap kebaikan Berkah. Jadi ia akan merasa bangga, kesedihan, emosi yang kuat, dan menyebutnya Berkah. Sesuatu yang sangat mudah dianggap sebagai Berkah adalah: suatu perasaan yang didapatkan manusia dari sesuatu yang aman, dikenal, menggetarkan.

Tetapi hanya kaum Sufi yang memiliki Berkah sejati. Mereka adalah salurannya, sebagaimana mawar sebagai saluran aroma wewangiannya. Mereka dapat memberimu Berkah, tetapi hanya jika engkau setia pada mereka, yang artinya setia terhadap apa yang mereka wakili.

Jika engkau mencari Berkah, temanku, carilah Sufi. Jika ia tampak brutal, berarti ia berterus terang, dan itulah takdir Berkahnya. Jika engkau ingin membayangkan, engkau akan sering-sering berada di dekat mereka yang tampak olehmu memberi jaminan dan pengangkatan depresi. Ambillah ini jika memang engkau perlu. Tetapi jangan sebut Berkah. Untuk mendapatkan Berkah, engkau harus memberi apa yang engkau miliki terus-menerus, sebelum engkau dapat menerima. Menerima sebelum engkau memberi adalah ilusi dan pikiran dosa. Bila engkau sudah memberi — beri lagi, sepenuh jiwa.

(Syeikh Syamsuddin Siwasi)

January 27, 2009 Posted by | Sufisme | 1 Comment

Belajar

Masyarakat cenderung ingin belajar dengan guru-guru terkenal. Namun selalu ada orang-orang yang tidak dihargai masyarakat, yang sebenarnya dapat mengajari mereka dengan efektif. (Al-Ghazali)

Seorang guru dengan sedikit pengikut, atau sama sekali tidak ada pengikutnya, mungkin orang yang tepat untukmu. Sesuai dengan sifatnya, sedikit semut tidak akan berkerumun untuk melihat gajah, dengan harapan memperoleh keuntungan. Seorang guru terkenal barangkali hanya bermanfaat untuk Para sarjana (tingkat) lanjutan. (Badakhsyani)

Bila seorang guru yang sangat terpercaya mengatakan kepadamu untuk belajar di bawah seseorang yang tampaknya kurang terkenal, ia tahu apa kebutuhanmu. Banyak murid merasa diremehkan dengan saran seperti ini, padahal sesungguhnya demi kemajuan mereka. (Abdurrahman dari Bengal)

Telah kupelajari apa yang kupelajari hanya setelah guruku membebaskan diriku dari kebiasaan mendekatkan diri terhadap yang aku hargai sebagai guru dan pelajaran. Kadang aku tidak harus berbuat apa-apa sama sekali untuk waktu yang lama. Kadang aku harus mempelajari sesuatu yang tidak dapat kuhubungkan dengan pemikiranku, tidak peduli aku mencoba, dengan cita-cita lebih tinggi. (Zikiria ibnu al-Yusufi)

Mereka yang tertarik oleh sisi luar, yang mencari tanda-tanda lahiriah seorang guru, yang menyandarkan diri pada emosi didalam mempelajari atau membaca buku yang mereka pilih — mereka adalah lalat kolam Tradisi; mereka melompat dan meluncur di atas permukaan. Karena mereka memiliki kata-kata “dalam” dan “penting”, mereka mengira, dengan tidak benar, bahwa mereka mengetahui pengalaman-pengalaman tersebut. Inilah mengapa kita mengatakan, untuk tujuan-tujuan praktis, bahwa mereka tidak tahu apa pun. (Thalib Syamsi Ardabili)

Berhatilah-hatilah jangan salah mencerna sesuatu yang lain. Engkau boleh mengunjungi orang besar atau membaca bukunya, dan kau boleh merasa tertarik atau memusuhi. Seringkali hanya dicerna di kalangan murid. (Musthafa Qalibi dari Antioch)

Jika memulai jalan sekali lagi, permintaanku adalah, “Ajari aku bagaimana belajar dan apa yang dipelajari?” Dan, bahkan sebelumnya, “Biarkan aku benar-benar mengharapkan belajar bagaimana caranya belajar, sebagai cita-cita yang benar, bukan semata-mata dalam tuntutan diri sendiri.” (Khwaja Ali Ramitani, menunjuk delegasi Yamani)

January 27, 2009 Posted by | Sufisme | Leave a comment

Melihat Abu Yazid

….Seandainya engkau melihat Abu Yazid sekali saja, itu lebih bermanfaat bagimu daripada melihat Allah SWT tujuh puluh kali….

Diceritakan bahwa Abu Turab an-Nakhsyabi merasa kagum pada pemuda, lalu ia mendekatinya dan mengerjakan tugas-tugasnya. Sedangkan si pemuda sibuk dengan ibadah. Lalu pada suatu hari Abu Turab berkata kepadanya, “Seandainya engkau melihat Abu Yazid.” Lalu ketika abu Turab berulang-ulang pernyataan, “ Seandainya engkau melihat AbuYazid” kepadanya, sang pemuda menjadi kesal dan langsung berkata, “Celaka kamu, apa yang harus aku perbuat dengan abu Yazid?”

Melihat sikapnya, jiwa Abu Turab bergejolak, ia marah dan tidak dapat menahan diri lagi sehingga berkata, “Celakalah engkau, engkau telah menipu Allah SWT. Seandainya engkau melihat Abu Yazid sekali saja, itu lebih bermanfaat bagimu daripada melihat Allah SWT tujuh puluh kali.” Sang pemuda tercengang dengan ucapan Abu Turab dan mengingkarinya dengan bertanya, “Bagaimana bisa demikian?” Abu Turab menjawab, “Celaka kamu, engkau melihat Allah SWT hanya dari sisimu, lalu ia memperlihatkan dirinya-Nya kepadamu sesuai dengan kemampuanmu. Sedangkan jika kamu melihat Abu Yazid di sisi Allah, maka ia akan memperlihatkan diri-Nya sesuai dengan kemampuan Abu Yazid.”

Sang pemuda pun memahami perkataan Abu Turab, lalu ia berkata, “Bawa saya kepadanya.” Di akhir kisah, Abu Turab dan sang pemuda berdiri di atas bukit untuk menunggu Abu Yazid keluar dari dalam hutan yang penuh dengan hewan buas. Lalu Abu Yazid melintas di hadapan mereka sambil membawa seekor burung di pundaknya. Maka Abu Turab berkata kepada sang pemuda, “Itu dia Abu Yazid, lihatlah.”

Saat sang pemuda melihatnya, seketika itu pula ia pingsan. Lalu Abu Turab menggerak-gerakkan badannya, namun ternyata ia telah meninggal. Maka Abu Turab dan Abu Yazid berusaha menguburkannya. Saat sedang prosesi pemakaman,Abu Turab berkata kepada Abu Yazid, “Wahai tuanku, melihatmu membuat ia meninggal.” Abu Yazid berkata, “Tidak, tetapi temanmu dalam posisi benar. Dalam hatinya bersemayam rahasia yang tidak dapat terungkap oleh dirinya sendiri, lalu ketika ia melihat kita, barulah ia menyingkap rahasia hatinya sehingga ia pun merasa berat menanggungnya karena ia berada di tingkatan murid yang rendah. Karena menanggung beban itulah ia meninggal.

Sumber : Ihya’ Ulumuddin Karya Imam Al-Ghazali

January 27, 2009 Posted by | Abu Yazid Al Busthami, Kisah Sufi | Leave a comment