Daris Rajih

Search…View…Copy…Paste…

4 Nasihat Rasulullah SAW kepada Siti Ai’syah RA

Ada 4 (empat) buah Nasihat Rasulullah SAW kepada Istrinya tercinta Siti Ai’syah Rodliyallohu Anha… :

  1. Ya Ai’syah…. Janganlah Engkau tidur di malam hari sebelum engkau MENGHATAMKAN AL-QUR’AN….
  2. Ya Ai’syah…. Janganlah Engkau tidur di malam hari sebelum engkau MENDAPATKAN SYAFAAT DARI PARA RASUL dan NABI….
  3. Janganlah Engkau tidur di malam hari sebelum engkau MENDAPATKAN RIDHO’ dari SELURUH KAUM MUSLIMIN….
  4. Dan Janganlah Engkau tidur di malam hari sebelum engkau MENDAPATKAN PAHALA UMROH DAN HAJJI …..

Siti Ai’syah lalu bertanya Kepada Rasulullah SAW,

Ya Rasulullah… Bagaimana caranya agar saya bisa mendapatkan empat fadhilah tersebut dalam satu malam ?

bisa MENGHATAMKAN AL-QUR’AN- bisa MENDAPATKAN SYAFAAT DARI PARA RASUL dan NABI-

bisa MENDAPATKAN RIDHO’ dari SELURUH KAUM MUSLIMIN- dan bisa MENDAPATKAN PAHALA UMROH DAN HAJJI ?

Rasulullah SAW tersenyum lalu menjawab….

Ya Ai’syah…. yang kumaksud dengan : Janganlah Engkau tidur di malam hari sebelum engkau MENGHATAMKAN AL-QUR’AN adalah : Janganlah Engkau tidur di malam hari SEBELUM MEMBACA SURAH AL-IKHLAS TIGA KALI….

Karena bila engkau membaca Surah Al-Ikhlas 3X sebelum tidur, itu sama halnya engkau membaca seluruh Al-Qur’an.

Ya Ai’syah…. yang kumaksud dengan : Janganlah Engkau tidur di malam hari sebelum engkau MENDAPATKAN SYAFAAT DARI PARA RASUL dan NABI adalah ; Janganlah Engkau tidur di malam hari SEBELUM MEMBACA SHALAWAT bukan hanya kepadaku tapi juga kepada para Nabi dan Rasul… “Allohumma sholli ‘ala Saydina Muhammadin… wa’ala Sya-iril Ambiyaa wal Mursaliin, wa ‘ala alihim wa shohbihim ajma’in” (artinya Ya Allah Sholawat dan Salam kepada Nabi Muhammad, dan kepada seluruh para Nabi dan Rasul, serta kepada keluarga-keluarga mereka dan sahabat-sahabat mereka).

Janganlah Engkau tidur di malam hari sebelum engkau MENDAPATKAN RIDHO’ dari SELURUH KAUM MUSLIMIN, adalah dengan cara memohon AMPUN kepada ALLAH atas segala dosa-dosamu dan dosa-dosa seluruh Kaum Muslimin. yaitu dengan senantiasa membaca ” Robbighfirli…wali walidayya…waliman haqqun alayya.. wali jami’il muslimin wal muslimat… wal mu’miniin wal mu’minat… al ahya’i wal amwaat…” (artinya Ya Tuhan kami ampuni aku, ampuni kedua orangtuaku dan siapa2 yang memiliki nasab keturunannya, dan kepada seluruh muslimin dan muslimat, dan mu’minin dan mu’minat… baik yang masih hidup maupun yang sudah mati)

Yang ke empat, Janganlah Engkau tidur di malam hari sebelum engkau MENDAPATKAN PAHALA UMROH DAN HAJJI, yaitu dengan senantiasa membaca Tashbih, Tahmid, Tahlil, dan Takbir… ” Subhanallah.. wal hamdulillah, Wala ilaha illallah Huwallohu Akbar” (artinya Maha Suci Allah… Segala Puji bagi Allah, Tiada sesembahan kecuali Allah, Allah yang Maha Besar).

April 20, 2011 Posted by | Kisah Sufi | 5 Comments

Keteguhan Imam Ahmad bin Hanbal

Semua ulama telah mengambil rukhshah. Menghadapi fitnah dan siksaan yang ditimpakan oleh khalifah di antara para ulama ada yang memilih menyembunyikan keyakinannya dan menampakkan kekafiran secara terang-terangan. Ada juga yang menampakkan kekafiran secara tawriyah, tidak terang-terangan. Saat ditanya apakah al-Qur`an itu makhluk ataukah kalamullah mereka menjawab, “Allah menurunkan empat kitab suci. Kitab Zabur diturunkan kepada Nabi Dawud.” Mereka menjawab ini sambil menunjuk jari telunjuk. “Kitab Taurat diturunkan kepada Nabi Musa.” Lanjut mereka sambil menambahkan jari tengah atas jari telunjuk memberi isyarat dua. “Kitab Injil diturunkan kepada Nabi Isa.” Mereka pun menambahkan jari manis mengisyaratkan jumlah tiga. “Dan al-Qur`an diturunkan kepada Nabi Muhammad.” Mereka menambahkan jari kelingking memberi isyarat empat. Lalu mereka berkata,”Satu, dua, tiga, empat ini adalah makhluk.” Jawab mereka sambil menunjukkan keempat jarinya. Mereka memaksudkan yang makhluk adalah keempat jarinya, meskipun yang mendengamya mengira mereka mengakui bahwa al-Qur`an dan kitab-kitab Allah yang lain adalah makhluk. Itulah tawriyah.

Tinggal Imam Ahmad bin Hanbal yang bertahan. Tak ayal lagi beliau diseret dan dimasukkan ke dalam penjara sambil menunggu persidangan. Di dalam penjara Imam Ahmad didatangi oleh sahabat-sahabat dan murid-muridnya. Mereka semua mengharap supaya Imam Ahmad mengambil rukhshah sehingga bisa meneruskan kajian di masjid seperti biasanya. Mereka membawakan ayat dan hadits-hadits yang membolehkan seorang muslim mengambil rukhshah, boleh mengucapkan kata-kata kufur asalkan hatinya tetap berada di dalam iman di saat nyawanya terancam.

Setelah semua orang menyajikan argumen masing-masing, giliran Imam Ahmad menjawab. “Bagaimana dengan hadits Khabbab? ” Semua terdiam membisu. Sebab semua tahu yang dimaksud oleh sang Imam. Hadits Khabbab itu berbunyi: Dari Khabbab bin al-Arat ia berkata, “Kami mengadu kepada Rasulullah shalallahu alaihi wassalam saat beliau menjadikan kain selimut beliau sebagai bantal di sisi ka’bah. Kami katakan kepada beliau, ‘Mengapa engkau tidak memintakan pertolongan (kepada Allah) bagi kami? Mengapa engkau tidak berdoa kepada Allah untuk kami?’ Beliau menjawab, ‘Di antara umat sebelum kalian ada seseorang yang digalikan lubang untuknya, lalu ia dimasukkan ke dalamnya, diambillah sebilah gergaji, dan kepalanya pun digergaji di bagian tengahnya. Namun hal itu tidak menyurutkannya dari memegang agamanya kuat-kuat. Lalu diambillah sisir dari besi dan disisirkan pada kepalanya sehingga kulitnya terkelupas dan tampaklah tengkorak kepalanya. Namun hal itu pun tidak membuatnya bergeser dari agamanya. Demi Allah, bersabarlah, kalian, karena Allah akan menyempurnakan agama ini sampai ada orang yang berjalan dari Shan’a menuju Hadramaut, ia tidak takut akan sesuatu pun selain Allah atau serigala yang hendak menerkam kambing-kambingnya. Sungguh, kalian tertalu tergesa-gesa.”‘

Hadits Khabbab yang dimaksud memuat kisah keteguhan segelintir orang yang disiksa karena mempertahankan agamanya. Dan tampaknya sang Imam hendak meneladani orang yang dikisahkan oleh Rasulullah dalam hadits itu. Maka, orang-orang pun pulang dengan tangan kosong. Mereka tinggal menunggu hari eksekusi yang relah ditetapkan.

Hari itu datang. Khalifah telah mengumpulkan orang-orang di halaman istananya. Untuk ‘acara’ eksekusi itu disiapkan tempat khusus sehingga khalayak yang hadir dapat menyaksikan apa yang akan terjadi pada sang Imam.

Di dalam istana, Imam Ahmad yang dibawa menuju tempat khusus yang telah disediakan sempat ditemui oleh salah seorang murid beliau, Imam al-Marwaziy. “Wahai Ustadz, Allah telah berfirrnan, ‘Janganlah kamu membunuh dirimu sendiri!'(QS. an-Nisa’: 29)

“Wahai Marwaziy, tengoklah keluar! Apa yang kamu lihat?” jawab Imam Ahmad.

Imam al-Marwaziy menuturkan, ‘Aku lihat lautan manusia. Hanya Allah yang tahu jumlahnya. Mereka semua membawa lembaran kertas dan pena. Mereka siap menulis apa saja yang akan didengar keluar dari lisan sang Imam.”

“Bagaimana menurutmu Marwaziy, haruskan aku menyesatkan mereka semua? Atau tidak mengapa satu nyawa melayang hari ini asalkan mereka semua tidak tersesat? Bagaimana?” tanya sang Imam retoris.

Imam al-Marwaziy memandang dari kejauhan saat Imam Ahmad ditanya pendapatnya tentang al-Qur’an: apakah ia makhluk ataukah kalamullah.

Semua yang hadir terdiam membisu menunggu jawaban sang imam. Mereka telah siap dengan kertas dan pena masing-masing. Dan mereka tidak perlu menunggu waktu yang lama untuk mendengar jawaban sang Imam. Dengan tegas dan lantang Imam Ahmad menjawab, “Al-Qur’ an adalah kalamullah!”

Ribuan pena menggores kertas mencatat fatwa sang Imam yang teguh berpijak di atas sunnah seiring cambukan pertama yang dilakukan oleh algojo khalifah mendera tubuh Imam Ahmad yang lemah. Dalam pandangan Imam Ahmad siksa yang menderanya belum ada apa-apanya dibandingkan siksaan yang dialami oleh lelaki yang disebut Nabi dalam hadits Khabbab. Imam al-Marwaziy hanya bisa diam dan berdoa kepada Allah saat menyaksikan tubuh lemah sang Imam dicambuk tak kurang dari 40 kali oleh para algojo yang bergantian melakukannya. Sampai tubuh lemah itu terkulai pingsan tanpa daya.

April 20, 2011 Posted by | Imam Hambali | 3 Comments

Menentang Ego

Kisah ini tentang salah satu Mursid dalam Tarekat Naqshbandi Rantai Emas, yang dilapori salah seorang muridnya tentang adanya pendeta Hindu yang mempunyai kemampuan lebih : bisa terbang, berjalan di atas air dan mengetahui hal hal yang akan datang. Maka Mursid inipun dengan mengucapkan basmalah, dalam sesaat sudah berada di hadapan pendeta Hindu tersebut, yang segera menyambutnya dengan hangat :”Selamat datang Shaykh, saya tahu anda akan hadir, maka saya sengaja menyediakan hidangan yang halal, hewan ternaknya disembelih oleh pembantu yang seorang Islam juga. Mari silahkan dinikmati hidangan yang sudah saya sediakan ini.” Mursid Naqshbandi itu menjawab :”Terima kasih. Tetapi saya tidak mau menyantap hidangan ini sebelum anda mengucapkan dua Kalimat Shahadat.”

Maka sang pendeta Hindu menundukkan kepalanya, lama. Lama sekali. Sejam lebih baru akhirnya dia mengangkat kepalanya dan mengucapkan kalimat Shahadat dihadapan Mursid itu. Sang Murshid bertanya :”Mengapa anda tadi memerlukan waktu yang lama sekali baru bersedia mengucapkan dua Kalimat Shahadat?”

Sang pendeta menjawab :”Kebiasaan lama saya adalah selalu menentang apa yang dikatakan ego saya, maka saya bisa mencapai kedudukan saya yang sekarang. Kalau ego saya suruh saya ke kanan, saya ke kiri Kalau ego menyuruh saya maju, saya mundur. Tadi ketika anda minta saya mengucapkan dua kalimat shahadat, ego saya membujuk panjang lebar agar saya tidak melakukan itu, karena kata ego, saya akan kehilangan semua yang telah saya capai dengan memeluk Islam. Kata ego, saya akan kehilangan semua kepandaian saya. Saya akan kehilangan status sosial saya. Saya akan ditinggal kan para pengikut saya. Saya pikir itu semua adalah yang saya sukai, saya senangi. Maka lama sekali saya harus bergulat dengan ego. Meskipun sudah menjadi tradisi saya untuk menentang ego, tetapi kalau saya kehilangan itu semua, saya juga tidak mau. Setelah melalui pergulatan batin yang panjang, akhirnya saya mantap meneruskan tradisi saya : menentang ego. Maka saya pun mengucapkan dua kalimat shahadat itu.”

Diceritakan bahwa pendeta Hindu itu setelah masuk Islam, karena dia selalu menen tang egonya, maka seluruh ilmu hitamnya telah dirubah Allah menjadi ilmu putih, sehing ga kepandaiannya bukannya berkurang malah bertambah.

April 20, 2011 Posted by | Kisah Sufi | 2 Comments

Dua Polisi yang Menyaksikan Eksekusi atas Sayyid Qutb

Ulama, da’i, serta para penyeru Islam yang mempersembahkan nyawanya di Jalan Allah, atas dasar ikhlash kepadaNya, sentiasa ditempatkan Allah sangat tinggi dan mulia di hati segenap manusia.

Di antara da’i dan penyeru Islam itu adalah Syuhada (insya Allah) Sayyid Qutb. Bahkan peristiwa eksekusi matinya yang dilakukan dengan cara digantung, memberikan kesan mendalam dan menggetarkan bagi siapa saja yang mengenal Beliau atau menyaksikan sikapnya yang teguh. Di antara mereka yang begitu tergetar dengan sosok mulia ini adalah dua orang polisi yang menyaksikan eksekusi matinya (di tahun 1966).

Salah seorang polisi itu mengetengahkan kisahnya kepada kita:

Ada banyak peristiwa yang tidak pernah kami bayangkan sebelumnya, lalu peristiwa itu menghantam kami dan merubah total kehidupan kami.

Di penjara militer pada saat itu, setiap malam kami menerima orang atau sekelompok orang, laki-laki atau perempuan, tua maupun muda. Setiap orang-orang itu tiba, atasan kami menyampaikan bahwa orang-orang itu adalah para pengkhianat negara yang telah bekerja sama dengan agen Zionis Yahudi. Karena itu, dengan cara apapun kami harus bias mengorek rahasia dari mereka. Kami harus dapat membuat mereka membuka mulut dengan cara apapun, meski itu harus dengan menimpakan siksaan keji pada mereka tanpa pandang bulu.

Jika tubuh mereka penuh dengan berbagai luka akibat pukulan dan cambukan, itu sesuatu pemandangan harian yang biasa. Kami melaksanakan tugas itu dengan satu keyakinan kuat bahwa kami tengah melaksanakan tugas mulia: menyelamatkan negara dan melindungi masyarakat dari para “pengkhianat keji” yang telah bekerja sama dengan Yahudi hina.

Begitulah, hingga kami menyaksikan berbagai peristiwa yang tidak dapat kami mengerti. Kami mempersaksikan para ‘pengkhianat’ ini sentiasa menjaga shalat mereka, bahkan sentiasa berusaha menjaga dengan teguh qiyamullail setiap malam, dalam keadaan apapun. Ketika ayunan pukulan dan cabikan cambuk memecahkan daging mereka, mereka tidak berhenti untuk mengingat Allah. Lisan mereka sentiasa berdzikir walau tengah menghadapi siksaan yang berat.

Beberapa di antara mereka berpulang menghadap Allah sementar ayunan cambuk tengah mendera tubuh mereka, atau ketika sekawanan anjing lapar merobek daging punggung mereka. Tetapi dalam kondisi mencekam itu, mereka menghadapi maut dengan senyum di bibir, dan lisan yang selalu basah mengingat nama Allah.

Perlahan, kami mulai ragu, apakah benar orang-orang ini adalah sekawanan ‘penjahat keji’ dan ‘pengkhianat’? Bagaimana mungkin orang-orang yang teguh dalam menjalankan perintah agamanya adalah orang yang berkolaborasi dengan musuh Allah?

Maka kami, aku dan temanku yang sama-sama bertugas di kepolisian ini, secara rahasia menyepakati, untuk sedapat mungkin berusaha tidak menyakiti orang-orang ini, serta memberikan mereka bantuan apa saja yang dapat kami lakukan. Dengan ijin Allah, tugas saya di penjara militer tersebut tidak berlangsung lama. Penugasan kami yang terakhir di penjara itu adalah menjaga sebuah sel di mana di dalamnya dipenjara seseorang. Kami diberi tahu bahwa orang ini adalah yang paling berbahaya dari kumpulan ‘pengkhianat’ itu. Orang ini adalah pemimpin dan perencana seluruh makar jahat mereka. Namanya Sayyid Qutb.

Orang ini agaknya telah mengalami siksaan sangat berat hingga ia tidak mampu lagi untuk berdiri. Mereka harus menyeretnya ke Pengadilan Militer ketika ia akan disidangkan. Suatu malam, keputusan telah sampai untuknya, ia harus dieksekusi mati dengan cara digantung.

Malam itu seorang sheikh dibawa menemuinya, untuk mentalqin dan mengingatkannya kepada Allah, sebelum dieksekusi.

(Sheikh itu berkata, “Wahai Sayyid, ucapkanlah Laa ilaha illa Allah…”. Sayyid Qutb hanya tersenyum lalu berkata, “Sampai hati juga engkau wahai Sheikh, menyempurnakan seluruh sandiwara ini? Ketahuilah, kami mati dan mengorbankan diri demi membela dan meninggikan kalimat Laa ilaha illa Allah, sementara engkau mencari makan dengan Laa ilaha illa Allah”. Pent)

Dini hari esoknya, kami, aku dan temanku, menuntun dan tangannya dan membawanya ke sebuah mobil tertutup, di mana di dalamnya telah ada beberapa tahanan lainnya yang juga akan dieksekusi. Beberapa saat kemudian, mobil penjara itu berangkat ke tempat eksekusi, dikawal oleh beberapa mobil militer yang membawa kawanan tentara bersenjata lengkap.

Begitu tiba di tempat eksekusi, tiap tentara menempati posisinya dengan senjata siap. Para perwira militer telah menyiapkan segala hal termasuk memasang instalasi tiang gantung untuk setiap tahanan. Seorang tentara eksekutor mengalungkan tali gantung ke leher Beliau dan para tahanan lain. Setelah semua siap, seluruh petugas bersiap menunggu perintah eksekusi.

Di tengah suasana ‘maut’ yang begitu mencekam dan menggoncangkan jiwa itu, aku menyaksikan peristiwa yang mengharukan dan mengagumkan. Ketika tali gantung telah mengikat leher mereka, masing-masing saling bertausiyah kepada saudaranya, untuk tetap tsabat dan shabr, serta menyampaikan kabar gembira, saling berjanji untuk bertemu di Surga, bersama dengan Rasulullah tercinta dan para Shahabat. Tausiyah ini kemudian diakhiri dengan pekikan, “ALLAHU AKBAR WA LILLAHIL HAMD!” Aku tergetar mendengarnya.

Di saat yang genting itu, kami mendengar bunyi mobil datang. Gerbang ruangan dibuka dan seorang pejabat militer tingkat tinggi datang dengan tergesa-gesa sembari memberi komando agar pelaksanaan eksekusi ditunda.

Perwira tinggi itu mendekati Sayyid Qutb, lalu memerintahkan agar tali gantungan dilepaskan dan tutup mata dibuka. Perwira itu kemudian menyampaikan kata-kata dengan bibir bergetar, “Saudaraku Sayyid, aku datang bersegera menghadap Anda, dengan membawa kabar gembira dan pengampunan dari Presiden kita yang sangat pengasih. Anda hanya perlu menulis satu kalimat saja sehingga Anda dan seluruh teman-teman Anda akan diampuni”.

Perwira itu tidak membuang-buang waktu, ia segera mengeluarkan sebuah notes kecil dari saku bajunya dan sebuah pulpen, lalu berkata, “Tulislah Saudaraku, satu kalimat saja… Aku bersalah dan aku minta maaf…”

(Hal serupa pernah terjadi ketika Ustadz Sayyid Qutb dipenjara, lalu datanglah saudarinya Aminah Qutb sembari membawa pesan dari rejim thoghut Mesir, meminta agar Sayyid Qutb sekedar mengajukan permohonan maaf secara tertulis kepada Presiden Jamal Abdul Naser, maka ia akan diampuni. Sayyid Qutb mengucapkan kata-katanya yang terkenal, “Telunjuk yang sentiasa mempersaksikan keesaan Allah dalam setiap shalatnya, menolak untuk menuliskan barang satu huruf penundukan atau menyerah kepada rejim thoghut…”. Pent)

Sayyid Qutb menatap perwira itu dengan matanya yang bening. Satu senyum tersungging di bibirnya. Lalu dengan sangat berwibawa Beliau berkata, “Tidak akan pernah! Aku tidak akan pernah bersedia menukar kehidupan dunia yang fana ini dengan Akhirat yang abadi”.

Perwira itu berkata, dengan nada suara bergetar karena rasa sedih yang mencekam, “Tetapi Sayyid, itu artinya kematian…”

Ustadz Sayyid Qutb berkata tenang, “Selamat datang kematian di Jalan Allah… Sungguh Allah Maha Besar!”

Aku menyaksikan seluruh episode ini, dan tidak mampu berkata apa-apa. Kami menyaksikan gunung menjulang yang kokoh berdiri mempertahankan iman dan keyakinan. Dialog itu tidak dilanjutkan, dan sang perwira memberi tanda eksekusi untuk dilanjutkan.

Segera, para eksekutor akan menekan tuas, dan tubuh Sayyid Qutb beserta kawan-kawannya akan menggantung. Lisan semua mereka yang akan menjalani eksekusi itu mengucapkan sesuatu yang tidak akan pernah kami lupakan untuk selama-lamanya… Mereka mengucapkan, “Laa ilaha illah Allah, Muhammad Rasulullah…”

Sejak hari itu, aku berjanji kepada diriku untuk bertobat, takut kepada Allah, dan berusaha menjadi hambaNya yang sholeh. Aku sentiasa berdoa kepada Allah agar Dia mengampuni dosa-dosaku, serta menjaga diriku di dalam iman hingga akhir hayatku.

April 20, 2011 Posted by | Kisah Hikmah | Leave a comment

10 Wasiat Rasulullah SAW untuk Mengusir Bisikan Setan, Jin dan Manusia

  1. Jika dia membisikkan: “Anakmu akan”. Jawablah: “Semua akan mati, dan anakku akan ke surga, aku malah senang.”
  2. Jika membisikkan: “Hartamu akan musnah.” Jawablah: “Tak apalah, pertanggung-jawabanku menjadi ringan.”
  3. Jika dia membisikkan: “Orang-orang menzalimi dirimu, sedangkan kamu tidak zalim.” Jawablah: “Siksa Allah akan menimpa orang-orang zalim dan tidak mengenai orang-orang yang baik.” (Aku serahkan kepada Allah SWT)
  4. Jika dia membisikkan: “Betapa banyak kebaikanmu.” Jawablah: “Kejelekanku lebih banyak.” (Astaghfirullah).
  5. Jika dia membisikkan: “Alangkah banyak shalatmu.” Jawablah: “Kelalaianku lebih banyak dari pada shalatku.” (Lalai: tidak mengingat bahwa Allah mengawasi dirinya)
  6. Jika dia membisikkan: “Betapa banyak kamu bersedekah kepada orang-orang.” Jawablah: “Apa yang aku terima Allah jauh lebih banyak dari yang aku sedekahkan.”
  7. Jika dia membisikkan: “Betapa banyak orang yang menzalimu.” Jawablah: “Orang-orang yang aku zalimi lebih banyak.” (Astaghfirullah).
  8. Jika dia membisikkan: “Betapa banyak amalmu.” Jawablah: “Betapa sering aku bermaksiat.” (A’udzubillah)
  9. Jika dia membisikkan: “Minumlah minuman-minuman keras.” Jawablah: “Aku tidak akan mengerjakan maksiat.” (Aku minum sari ttauhid saja).
  10. Jika dia membisikkan: “Mengapa kamu tidak mencintai dunia?” Jawablah: “Aku tidak mencintainya karena telah banyak orang lain yang tertipu olehnya.” (dan mereka sengsara batin, kini sebagian di penjara dan sebagian lagi telah wafat berada di neraka Barzakh. Akan aku kuatkan ekonomiku, tetapi aku tidak akan mencintai harta, karena harta hanyalah alat untuk hidupku, tetapi aku bukan untuk harta).

April 4, 2011 Posted by | Kisah Sufi | 2 Comments