Daris Rajih

Search…View…Copy…Paste…

Wilayah (Kewalian) seorang Ibu dan Ghawts ul-A’zham

Cerita ini dikisahkan oleh almarhum Syaikh Zakariya bin ‘Umar Bagharib Singapore (qaddasAllahu sirrahu wa nafa’anaa bibarakaatih), yang adalah putra dari Syaikh ‘Umar bin Abdullah Bagharib (qaddasAllahu sirrahu wa nafa’anaa bibarakaatih), seorang mursyid Tariqah Qadiriyah di Singapore.

Syaikh Zakariya Bagharib pernah bercerita bahwa suatu saat di masa hidup Ghawtsul A’zham Syaikh ‘Abdul Qadir al-Jailaniy1) (qaddasAllahu sirrahu wa nafa’anaa bibarakaatih), sang Sulthanul Awliya’ tengah berada di lingkungan Masjidil Haram. Saat berada di sana, beliau (Syaikh ‘Abdul Qadir) merasa takjub ketika melihat seorang wanita yang tengah melakukan thawafmengelilingi Ka’bah dengan hanya satu kakinya. Melalui firasat beliau, fahamlah Syaikh ‘Abdul Qadir bahwa wanita tersebut bukanlah wanita biasa, melainkan pastilah seorang Wali. Syaikh ‘Abdul Qadir Al-Jailaniy pun mencoba mencari tahu level atau maqam atau kedudukan sang Wanita Waliyyah tersebut. Beliau pun mencoba ke level 1 (Wali ‘rendahan’), tak dijumpainya ruuhaniyyah wanita itu. Ke level 2, tak ada. Level 3, 4, … tak ada pula. Hingga sampai mendekati maqam Ghawtsiyyah beliau sendiri, tak juga ada. Akhirnya, menyerah juga, dan memohonlah beliau ke Hadirat Allah SWT yang kira-kira secara bebas
dapat dibahasakan sebagai berikut, “Yaa Allah, siapakah wanita ini yang tak dapat kulihat maqam wilayahnya?” (Sedangkan Syaikh Abdul Qadir Jailani terkenal dengan ucapannya ‘Kakiku berada di leher para Awliya”’)

“Yaa, ‘Abdal Qadir, ikutilah wanita itu bila engkau ingin mengetahui maqam wilayahnya”

Sang Ghawts pun membuntuti wanita tersebut, hingga akhirnya beliau mengetahui bahwa ternyata, wanita tersebut sebenarnya tidaklah buntung kaki yang satu. Yang terjadi adalah, wanita tersebut sebenarnya tengah menyusui anaknya. Anaknya yang kekenyangan tertidur di pangkuan kakinya. Dan dengan karamahnya sang Waliyyah ini ‘memutus’ sementara satu kaki agar anaknya tak terbangun, sementar ia pun menuju Masjidil Haram untuk berthawaf dengan hanya satu kaki. Dan ketika kembali ke anaknya yang masih terlelap dalam tidur, ia pun menyambungkan kembali kaki tadi.

Subhanallah. Itulah wilayah seorang wanita yang dicapai melalui kasih sayang keibuannya. Mawlana Syaikh Muhammad Nazim ‘Adil Al-Haqqani (qaddasAllahu sirrahu wa nafa’anaa bibarakaatih) pun sering menyebutkan betapa dekat seorang wanita dengan darajah Wali… lewat keibuan (motherhood). Sayangnya, banyak wanita di zaman ini, termasuk dari kalangan Muslimah meninggalkan keibuan/motherhooddan menganggapnya sebagai sesuatu yang ketinggalan zaman.
Dan sungguh ternyata kita tidak pernah tahu berapa dan betapa banyak hamba-hamba Allah (rijaalallah wa ‘ibaadallah) yang Ia SWT sembunyikan dalam kubah wilayah-Nya.

Catatan kaki:
Menurut almarhum Mawlana Syaikh Husayn ‘Ali ar-Rabbani (qaddasAllahu sirrahu wa nafa’anaa bibarakaatih), Syaikh ‘Abdul Qadir Al-Jailani memegang maqam Ghawtsiyyah selama 3 tahun. Sebelum beliau adalah Mawlana Syaikh Yusuf Al-Hammadaniy (qaddasAllahu sirrahu wa nafa’anaa bibarakaatih), dan setelah beliau adalah Mawlana Syaikh ‘Abdul Khaliq Al-Ghujdawani (qaddasAllahu sirrahu wa nafa’anaa bibarakaatih). Maqam Ghawtsiyyah adalam maqam tertinggi wilayah, sebagai representasi Rasulullah Muhammad sallallahu ‘alayhi wasallam.

January 20, 2012 Posted by | Syekh Abdul Qodir Al Jaelani | 5 Comments

Wanita Berjilbab dan Permen

Seorang non-muslim bertanya kepada seorang muslim …

Mengapa gadis-gadis muslim menutupi tubuh mereka juga rambutnya?

Orang muslim tersenyum… Lalu mengeluarkan dua permen, ia membuka yang pertama dan yang satu lagi dalam keadaan terbungkus. Kemudian ia melemparkan keduanya di lantai yang berdebu dan meminta siKristen tadi untuk mengambil salah satu permennya tadi… Mana yg akan you pilih?

Orang Kristen menjawab: “Ya tentu saja yang tertutup”

Kemudian Muslim berkata bahwa inilah cara kami memperlakukan wanita!

Dunia adalah tempat yang kotor dan Islam adalah pembungkus yang melindungi perempuan dari bahaya dan kotoran itu tadi..!…

January 20, 2012 Posted by | Kisah Hikmah | 6 Comments

Kedudukan Ulama

Sayyidina Ali K.W berkata:

1. Orang alim adalah lampu Allah di bumi. Maka, barangsiapa yang Allah menghendaki kebaikan baginya, dia akan memperoleh cahaya (ilmu) itu.

2. Kedudukan orang alim bagaikan pohon kurma, engkau menunggu kapan buahnya jatuh kepadamu.

3. Orang alim lebih utama dari pada orang yang berpuasa, mengerjakan shalat malam (tahajud), dan yang berjihad di jalan Allah. Jika seorang alim meninggal, maka terjadi lubang dalam islam yang tidak tertutupi sehingga datang orang alim lain yang datang kemudian (menggantikannya).

4. Orang yang (keluar dari rumahnya) mencari ilmu, para malaikat akan mengantar kepergiannya sehingga dia pulang (ke rumahnya).

5. Orang alim adalah yang mengetahui kemampuan dirinya, dan cukuplah seseorang dikatakan bodoh jika dia tidak mengetahui kemampuan dirinya.

6. Ketahuilah! Sesungguhnya hamba-hamba Allah yang memelihara ilmu-Nya, menjaga yang dijaga-Nya, dan memancarkan mata air ilmu-Nya, mereka ini saling berhubungan dengan wilayah (perwalian), saling bertemu dengan kecintaan, minum bersama dengan gelas pemikiran, dan pergi dengan meninggalkan bau yang harum. Mereka tidak dicampuri oleh keraguan, dan tidak pula mereka bersegera dalam mengumpat. Berdasarkan hal itulah, mereka mengukuhkan pembawaan dan akhlak mereka, saling mencintai, dan saling berhubungan di antara sesama mereka. Mereka ini seperti keunggulan benih yang telah dipilih, yang diambil darinya dan dilemparkan. la telah dipisahkan oleh penyaringan dan dibersihkan oleh pembersihan.

7. Di antara hak seorang guru terhadap muridnya adalah hendaklah si murid tidak terlalu banyak bertanya kepadanya, tidak membebaninya dalam memberikan jawaban, tidak mendesaknya jika dia sedang malas, tidak menyebarkan rahasianya, dan tidak mengumpat seorang pun di sisinya.

8. Orang yang alim adalah yang mengetahui bahwa apa yang diketahuinya, jika dibandingkan dengan apa yang tidak diketahuinya, sangatlah sedikit. Maka, karena itulah dia menganggap dirinya bodoh. Oleh karena itu, bertambahlah kesungguhannya dalam mencari ilmu karena pengetahuannya akan hal itu.

9. Kesalahan yang dilakukan seorang alim seperti kapal yang pecah, maka ia tenggelam dan tenggelam pula bersamanya banyak orang.

10. Jika seorang alim tertawa satu kali, maka dia telah membuang satu ilmu dari dirinya.

January 20, 2012 Posted by | Sufisme | 1 Comment

Indahnya Mencari Ilmu

Kemiskinan, bukan alasan dalam mencapai kecemerlangan ilmu: Imam Syafi�I (w. 820 M), adalah seorang anak yatim dan miskin, telah menghafal al-Qur�an ketika berumur 7 tahun, dan menghapal pula kitab Fikih Imam Malik ketika berumur 10 tahun. Beliau juga telah dianggap layak untuk membuat fatwa ketika berumur 12 tahun (Anwar Ahmad Qadri, 1981, Islamic Jurisprudence in the Modern World, Lahore: Sh. Muhammad Ashraf, hlm. 124). Sewaktu dewasa beliau biasa menghabiskan 1/3 malam belajar. (al Ghazali, Ihya Ulumiddin, terjemahan N. A. Faris, 1979, The Book of Knowledge, Lahore: Sh. Muhammad Ashraf, hlm: 59).

Kecacatan, bukan alasan dalam mencapai kecemerlangan ilmu: Abu Hasan al-Tamimi (w. 918 M) adalah seorang yang buta, tetapi kecintaannya pada ilmu menjadikan beliau belajar melalui pendengaran saja sehingga menjadi ulama fiqh mazhab Syafi�I yang terkenal. (George Makdisi, 1981, The Rise of Colleges, Edinburgh: Edinburgh University Press, hlm: 99).

Situasi Sosial Politik yang Tidak Stabil, bukan alasan dalam mencapai kecemerlangan ilmu: Ibn Taymiyyah (w. 1328 M) yang dilahirkan ketika keadaan politik umat Islam kacau balau di bawah keganasan Mongol dan Perang Salib, hidup dalam iklim keilmuan keluarganya. Beliau mempelajari al-Qur�an, Hadith, Fiqh, matematika, sejarah, sastra, imu kalam serta filsafat dan tamat pada belajar� ketika berumur 21 tahun. (Qamaruddin Khan, 1985, Political Thought of Ibn Taymiyyah, Islamabad: Islamic Research Institute, hlm: 2-4).

Kesenangan Hidup juga tidak menjadikan diri menjadi Malas untuk mencapai kecemerlangan ilmu: Ibn Hazm (w. 1064 M) yang dilahirkan di Qordoba dan Ibn Khaldun (w. 1406) yang dilahirkan di Tunis, keduanya berasal dari lingkungan keluarga yang berada, berpendidikan dan berpengaruh. Mereka dibesarkan dalam suasana kelimuan yang biasa dialami oleh anak-anak seperti itu mempelajari semua bidang agama dan filsafat. Bidang kajian Ibn Hazm lebih luas lagi sehingga sampai meliputi perobatan (kedokteran) yang beliau tidak amalkan secara serius mungkin karena terpaksa berpindah pindah disebabkan suasana politik yang tidak stabil. (A.G. Chejne, op.cit,, hlm: 36-43 dan Ibn Khaldun, Muqaddimah, terjemahan Franz Rosenthal, hlm: vii-xii).

Kedudukan dan Umur bukan faktor penghalang untuk terus belajar: Imam Abu Hanifah, walaupun sudah mempunyai pengikut dan masyhur, ternyata masih belajar lagi dengan Imam Malik yang 13 tahun lebih muda daripadanya. (Shibli Nu�mani, 1982, Imam Abu Hanifah: Life and Work, terjemahan M. Hadi Hussain, Lahore: Institute of Islamic Culture, hlm: 30).

Al-Jahiz (w. 869 M) adalah seorang budak hitam, sekaligus berprofesi sebagai penjual roti dan ikan, ternyata beliau mampu mencapai ketinggian ilmunya bukan hanya sekedar dengan cara menghadiri kuliah (ceramah-ceramah/halaqoh) tetapi dengan cara bergaul dengan ilmuwan di Mirdad, yaitu sebuah kawasan terbuka di pinggir Basra. Mirdad adalah tempat pertemuan para kabilah dan para ilmuwan yang saling bertukar berbagai ragam bahasa Arab Badui. Al Jahiz juga sering mengunjungi masjid dan mempelajari hal-hal yang berguna daripada para pengunjung masjid yang lain (masjidiyun). Kisah kematian beliau mencerminkan kehidupan yang benar-benar cinta akan ilmu. Beliau yang lumpuh tubuh badannya meninggal dunia tertindih oleh buku-buku yang selalu tersimpan di sekelilingnya. (Charles Pellat, 1969, The Life and Works of Jahiz, Berkeley/Los Angeles: University of California Press, hlm: 3-9).

Abu Rayhan Al Biruni (w. 1048 M) menguasai berbagai disiplin ilmu, ahli sains, ahli perundangan, ahli perbandingan agama dan menguasai berbagai bahasa seperti Arab, Parsi, Turki, Yahudi dan Sambani, dan ketika mengikuti Mahmud Ghaznawi ke India selama 14 tahun, beliau mempelajari bahasa Sanskrit untuk menulis tentang agama dan budaya orang India. (G. Allana, 1979, �Abu Rayhan Muhammad Ibn Ahmad al Biruni: A Restless Genius in Search of Knowledge�, dalam Al-Biruni Commemorative Volume: Proceedings of the International Congress, Hakim Mohammad Said, (ed.), Karachi: Hamdard National Foundation, hlm: 149-157). Ternyata ketika beliau sakit parahpun masih mendesak seorang sahabat yang menziarahinya, agar memberikan jawaban terhadap satu persoalan fiqh yang beliau rasa belum mendapat jawaban yang tepat. Sahabatnya dengan nada kasihan bertanya kepada al Biruni: Apakah ini waktu yang tepat untuk membahas tentang persoalan fiqh sedangkan engkau dalam keadaan seperti ini? Al Biruni menjawab dengan tegas bahwa beliau tidak mau meninggalkan alam fana ini dalam keadaan jahil (tidak tahu/bodoh) tentang penyelesaian persoalan tersebut. (Ahmad Shalaby, 1945, History of Muslim Education, Beirut: Dar al-Kashshaf, hlm: 179).

Ibn Rushd (w. 1198 M) hanya bercuti (libur) 2 hari sepanjang hidupnya dari kerjanya yaitu mengajar, menulis dan memberi fatwa sebagai Qodi, yaitu pada hari kematian bapaknya dan dan pada hari perkawinannya. (Miguel Cruz Hernandez, 1989, �Ibn Rushd dan Musa Ibn Maymun-Ahli Falsafah al-Andalus�, Kurier UNESCO, no 11, hlm: 9).

Ibn Sina (w. 1037 M) yang hidup di Iran disekitar abad ke-10 dan ke-11 Masehi, telah menerima pendidikan al-Qur�an dan kesusasteraan ketika masih kecil. Setelah sampai pada usia 10 tahun beliau telah mengkhatamkan al-Qur�an dan banyak kitab kesusasteraan. Sejak kecil beliau dan saudara kandungnya telah ditunjukan kepada perbincangan filsafat tentang masalah akal dan roh, geometri dan ilmu hisab India. Beliau dihantar oleh ayahnya mempelajari ilmu hisab India dan matematika dari seorang penjual sayur yang menguasai bidang ini. Kemudian beliau juga giat pula mempelajari ilmu Fiqh dan menguasaiya. Setelah itu beliau mengkaji filsafat, khasnya kitab Isagoge karangan Porphyry, seorang tokoh filsafat Yunani Kuno. Beliau belajar ilmu logika dengan cara otodidak sampai menguasainya. Kemudian beliau juga memabca sendiri teks dan komentar tentang sains kedokteran dan metafisika. Beliau juga membaca kitab perobatan dan mengatakan bahwa ilmu perobatan tidaklah terlalu sulit. Oleh karenanya, dalam waktu yang singkat telah
menguasainya dan tidak sedikit para pakar perobatan yang belajar kepadanya. Beliau merawat orang-orang yang sakit dan mendalami lagi ilmu perobatan. Pada usia 16 tahun, beliau melibatkan diri dalam ilmu perundangan dan sering berpolemik tentang hal tersebut.
Kemudian, selama satu setengah tahun beliau belajar dan mengkaji tentang filsafat dengan mendalam. Apabila merasa letih dan mengantuk ketika belajar, maka beliau akan meminum jus buah-buahan untuk menyegarkan badan dan meneruskan bacaan. Beliau banyak bersembahyang di masjid dan berdoa agar Allah memberikan penjelasan terhadap persoalan yang sukar dipahaminya. Beliau melaksanakan hal tersebut secara istiqamah sehingga semua bidang ilmu seperti logika, sains kedokteran dan matematika dikuasainya. Kemudian beliau membaca kitab Metafizika karangan Aristotle sebanyak 40 kali tetapi masih belum memahaminya sehingga akhirnya beliau menemukan ulasan (penjelasan) al-Farabi tentang kitab metafizikanya Aristotle. Beliau merasa sangat gembira ketika dapat memahami kitab yang hampir 500 halaman tersebut, lalu beliau mendirikan sholat sunat dan banyak bersedekah. Ketika beliau dipanggil untuk membantu Sultan Nuh al-Mansur di Bukhara, beliau mengambil kesempatan buku-buku di perpustakaan besar kepunyaan sultan itu dan telah selesai menguasai semua bidang ilmu setelah berumur 18 tahun. (William E. Gohlman, 1974, The Life of Ibn Sina: A Critical Edition and Annotated Translation, New York: SUNY Press).

Syed Muhammad Naquib� Al-Attas: Ketika beliau sedang menyiapkan penjelasan tentang karya Hujjatul Siddiq oleh Syeikh Nurudin al-Raniri pada awal 1980an, al-Attas membuat kajian di Perpustakaan Universiti Chicago. Dalam beberapa pertemuan dengan Prof. Dr Wan Mohd Nor Wan Daud di sana beliau mengakui amat sukar tidur sebab memikirkan maksud penulis kitab tersebut. Bahkan, karena kesungguhan beliau dalam memahami maksud kitab tersebut sampai-sampai beliau seakan-akan berbicara dengan al-Raniri sendiri. Beliau pernah menyatakan kepada Prof Wan, bahwa ketika menulis tentang episode-episode sejarah, beliau seolah-olah dapat melihat dengan mata hatinya rentetan-rentetan semua peristiwa penting dalam episode berkenaan. Hal yang sama juga berlaku ketika beliau merancang dua kampus ISTAC di Jalan Damansara dan Persiaran Duta yang indah dan berperibadi unik itu. Beliau dapat membayangkan setiap sudut dari bangunan itu dan semua yang ingin diletakkan di dalamnya seperti seorang penghias dalaman dan juru lanskap. (Prof. Dr. Wan Mohd Nor Wan Daud, Artikel: Falsafah dan Metodologi Pengkajian Sejarah Syed Muhammad Naquib Al-Attas pada Seminar Khas Sejarah Alam Melayu: Antara Fakta dan Khayalan, anjuran CASIS di Bilik Jemaah UTM International Campus Kuala Lumpur,� 9hb Sept 2011).

January 20, 2012 Posted by | Kisah Sufi | Leave a comment

Abu Hurairah Sang Ahlus Shuffah

Di antara ratusan ribu hadits Nabi Muhammad saw, terdapat banyak hadits yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah ra. Meski hanya empat tahun hidup bersama Rasul saw. sebelum wafat beliau, namun Abu Hurairah telah menghafal dan meriwayatkan 5.374 hadits dari Nabi saw.

Nama aslinya Abdurrahman bin Shakhr Ad Dausi. Ia masuk Islam pada 7 H. Asalnya dari Yaman dan diperkirakan lahir tahun 21 sebelum hijrah. Setelah masuk Islam, ia tinggal di halaman masjid Nabawi dan menemani Nabi saw dalam berbagai kesempatan. Ia termasuk sahabat yang hidup sebatang kara dan tidak punya rumah yang oleh kalangan kaum muslimin disebut Ahlus Shuffah (ahli Shuffah).

Orang-orang Ahli Shuffah adalah orang Islam dan dianggap tamu-tamu Islam oleh Nabi saw. Mereka tidak punya tempat tinggal dan tidak punya kerabat di Madinah. Mereka tinggal di halaman masjid Nabi. Jika Nabi saw. mendapatkan shadaqah, beliau segera mengirimkan kepada mereka dan beliau tidak mengambil sedikit pun. Kalau mendapat hadiah, maka Nabi saw. mengirimkannya kepada Ahli Shuffah dan beliau mengambil sedikit atau beliau memakannya bersama mereka.

Setelah masuk Islam, Abu Hurairah selalu menemani dan melayani Rasulullah saw kapan pun dan dimana pun beliau berada. Sehingga ia mendapat banyak ilmu dari Nabi saw. Meski bertemu Nabi selama kurang lebih empat tahun saja, namun sahabat yang gemar memelihara kucing ini menghafal lebih banyak hadits daripada sahabat lain yang lebih senior.

Setia Menemani & Melayani

Abu Hurairah ra pernah bercerita. Suatu hari Rasulullah Muhammad saw. duduk bersama para sahabat beliau, termasuk Abu Bakar ra dan Umar bin Khaththab ra (dalam Ringkasan Shahih Muslim, Mizan, hadits no. 12, hlm. 11-13).

Tak lama kemudian, Rasulullah saw. meninggalkan majelis sahabat itu. Karena beliau pergi sangat lama, para sahabat mengkuatirkan keadaan beliau. Lalu para sahabat mencari keberadaan Nabi saw. Ternyata, Abu Hurairah lebih dulu menjumpai Nabi yang sedang berada di sebuah kebun milik orang Anshar dari Bani Najjar.

Abu Hurairah bermaksud masuk ke kebun itu. Tapi ia tak menemukan pintu masuknya. Akhirnya ia melompati parit yang terhubung dengan sebuah sumur yang berada di tengah kebun itu.

Mendengar suara kehadiran orang, Nabi saw. bertanya, �Apakah itu Abu Hurairah?�

�Benar,� jawabnya.

�Ada apa?�

�Engkau tadi berada ditengah-tengah kami lalu engkau meninggalkan kami sangat lama. Kami kuatir terjadi sesuatu pada engkau. Karena itu, saya masuk kebun ini dan melompat seperti serigala. Orang-orang yang lain menyusul di blakang saya.�

Kemudian Nabi saw. bersabda, �Wahai Abu Huirairah, bawalah sepasang sandalku ini dan siapa saja yang engkau temui di balik kebun ini sedangkan dia bersaksi bahwa tiada tuhan selain Allah dengan yakin sepenuh hati, berilah kabar gembira dengan (masuk) surga.� Lalu Abu Hurairah beranjak pergi. Orang pertama yang ditemuinya di balik kebun adalah Umar bin Khaththab ra.

Umar bertanya, �Apa yang hendak kau lakukan dengan sepasang sandal itu wahai Abu Hurairah?� Ia menjawab, �Sepasang sandal ini adalah milik Rasulullah saw. Beliau mengutus dengannya bahwa siapa saja yang bersaksi tiada tuhan selain Allah dengan sepenuh hati, maka saya beri kabar gembira dengan (masuk) surga.� Mendengar itu, lantas Umar memukul dada Abu Hurairah dengan tangannya hingga Abu Hurairah jatuh terjengkang. Setelah memukul, Umar dengan tegas berkata kepadanya, �Kembalilah kau (kepada Rasulullah saw.)!�

Abu Hurairah sama sekali tidak punya keinginan untuk membalas. Sambil meringis kesakitan, Abu Hurairah menuruti perintah Umar untuk menemui Nabi saw. Umar menyusul di belakangnya. Ia hanya heran dengan sikap Umar itu.

Sambil menahan sakit, ia berjalan menemui Nabi saw. Melihat Abu Hurairah menangis, Nabi saw. bertanya, �Apa yang terjadi pada dirimu wahai Abu Hurairah?�

Ia menjawab, �Saya bertemu dengan Umar. Lalu saya memberitahukan kepadanya hal yang telah engkau utus. Namun Umar malah memukul dada saya dengan tangannya sampai saya jatuh. Umar malah menyuruh saya kembali.�

Lalu Nabi saw. bertanya kepada Umar yang berada di samping Abu Hurairah. Nabi saw. pun bertanya, �Wahai Umar, apa yang membuat engkau berbuat demikian?�

Umar menjawab, �Wahai Rasulullah, semoga ayah dan ibuku sebagai tebusanmu. Apakah engkau mengutus Abu Hurairah dengan membawa sepasang sandalmu dan siapa saja yang dia temui sedang dia bersaksi tiada tuhan selain Allah dengan yakin sepenuh hatinya, dia memberinya kabar gembira dengan (masuk) surga?�

�Ya.�

�Janganlah engkau melakukan itu. Karena saya kuatir orang-orang akan bersandar pada ucapan itu saja. Tetapi biarlah mereka mengerjakan amal-amal kebaikan.�

�(Kalau begitu) biarkanlah mereka mengerjakan amal-amal kebaikan,� jawab Nabi saw.

Dikira Orang Gila

Salah satu kelebihan Abu Hurairah adalah rasa hausnya akan ilmu mengalahkan rasa laparnya terhadap makanan. Imam Bukhari menarasikan penggalan perjalanan hidup Abu Hurairah bersama Rasul saw. (diolah dari Riyadhus Shalihin karya Imam Nawawi, hadits no. 502).

Suatu hari, Abu Hurairah menceritakan keadaannya. Ia berkata, �Demi Allah, yang tiada tuhan selain Dia. Aku pernah merapatkan perutku ke tanah karena lapar. Aku mengikat batu di perutku juga karena lapar. Aku juga pernah terduduk di tempat di sebuah jalan yang biasa dilalui orang. Dari kejauhan, Nabi saw. tersenyum saat melihatku. Sepertinya beliau mengerti keadaanku setelah memperhatikan ekspresi wajahku dan posisi tubuhku.�

Kemudian Nabi saw. memanggil Abu Hurairah, �Wahai, Abu Hirr (panggilan akrab Abu Hurairah, artinya bapak atau pemilik kucing kecil, Red.).

�Labbaik ya Rasulullah.�

�Ikutlah denganku,� ucap Nabi saw.

Lalu Abu Hurairah menemani Nabi saw. menuju salah satu rumah keluarga beliau. Nabi saw. pun masuk. Abu Hurairah minta izin masuk dan beliau mengizinkannya. Di sana ada segelas susu. Nabi saw. bertanya kepada penghuni rumah, �Darimana asal susu ini?�

�Seorang perempuan menghadiahkan untuk engkau, wahai Rasulullah,� jawab penghuni rumah.

�Wahai Abu Hirr.�

�Labbaik ya Rasulullah,� jawab Abu Hurairah.

�Temuilah orang-orang Ahli Shuffah itu. Ajaklah kemari.�

Saat memanggil Ahli Shuffah, Abu Hurairah berkata sendiri, �Mengapa susu ini diberikan kepada Ahli Shuffah? Padahal aku paling pantas untuk minum susu itu agar kekuatan saya pulih (dari rasa lapar yang sangat, Red.). Apabila Ahli Shuffah kemari, beliau pasti menyuruh saya memberikan susu itu kepada mereka dan kemungkinan saya tidak mendapat bagian dari susu itu (karena terbatasnya susu, Red.). Maka, perasaanku jadi tidak enak karena ini. Tapi taat kepada Allah dan Rasul harus diutamakan.� Abu Hurairah lebih mengutamakan ketaatan kepada Allah dan Rasul daripada perasaannya sendiri. Ia tetap melaksanakan perintah Nabi saw.

Kenangan Indah

Inilah salah satu kelebihan akhlak Abu Hurairah. Ia termasuk sahabat Nabi saw. yang sangat menjaga harga dirinya meski hidup kekurangan. Ia tidak meminta-minta meski sangat membutuhkan. Berdasar riwayat Muhammad bin Sirin, ia pernah tergeletak di antara mimbar Nabi saw. dan kamar Aisyah (di sekitar Masjid Nabawi, Red.). Tiba-tiba ada seseorang yang melewatinya dan meletakkan kakinya di lehernya. Ia mengira Abu Hurairah orang gila yang tidur sembarangan. Padahal ia tergeletak karena lapar (HR. Bukhari).

Setelah Ahli Shuffah tiba dan duduk mengelilingi Nabi saw, kemudian Nabi saw. berkata, �Wahai Abu Hirr.�

�Labbaik ya Rasulullah.�

�Ambil susu itu dan bagikan kepada mereka.�

Abu Hurairah berkata sendiri, �Aku sangat berharap aku mendapat bagian dari susu ini. Dan ini bukan berarti aku tidak taat kepad Allah dan Rasul sama sekali.�

Namun Abu Hurairah tetap melaksanakan perintah Nabi saw. Ia memberikan susu itu secera bergiliran kepada orang-orang Ahli Shuffah. Satu persatu minum sampai puas, baru kemudian mengembalikan gelasnya kepada Abu Hurairah. Begitu seterusnya hingga orang terakhir. Dengan izin Allah, meski diminum banyak orang ternyata susunya tidak habis-habis.

Setelah semua minum, kemudian Nabi saw. mengambil gelas itu. Lalu Nabi saw. melihat ke arah Abu Hurairah sambil tersenyum.

�Wahai Abu Hirr.�

�Labbaik ya Rasulullah.�

�Sekarang tinggal aku dan kamu.�

�Engkau benar wahai Rasulullah.�

�Duduklah dan minumlah.�

Maka Abu Hurairah duduk dan meminumnya.

�Minumlah,� ucap Nabi saw. lagi. Abu Hurairah pun meminumnya lagi. Dan Nabi saw. berkali-kali menyuruh Abu Hurairah minum. Abu Hurairah terus minum hingga akhirnya ia berkata, �Tidak, demi Zat yang mengutusmu dengan kebenaran! Perut saya tidak muat lagi.�

Lantas Nabi saw. bersabda, �Bawa kemari gelas itu.� Kemudian, Nabi saw. memuji Allah, menyebut Asma-Nya dan kemudian meminumnya.{}

Sumber:

– Riyadhus Shalihin, Imam Nawawi, terjemahan Indonesia Penerbit
I�tishom Cahaya Umat jilid I, Jakarta, cetakan kedua April 2006.

– Riyadhus Shalihin, Imam Nawawi, terjemahan Indonesi Penerbit
Pustaka Amani jilid I, Jakarta, cetakan keempat 1999.

– 125 Kiat Salaf Menjadikan Waktu Produktif, Abul Qa�qa
Muhammad bin Shalih, Pustaka eLBA, Surabaya, cetakan pertama 2006

– Ringkasan Shahih Muslim, Zaki Al Din Abd Al Azhim Al
Mundziri, Mizan, 2008, Bandung.

July 11, 2011 Posted by | Kisah Hikmah | 3 Comments

Kesucian dan Kemuliaan Ilmu

Sayyidina Ali K.W berkata:

1. Ilmu adalah pusaka yang mulia.

2. Serendah-rendah ilmu adalah yang berhenti di lidah, dan yang paling tinggi adalah yang tampak di anggota-anggota badan.

3. Tetaplah mengingat ilmu di tengah orang-orang yang tidak menyukainya, dan mengingat kemuliaan yang terdahulu di tengah orang-orang yang tidak memiliki kemuliaan, karena hal itu termasuk di antara yang menjadikan keduanya dengki terhadapmu.

4. Jika Allah hendak merendahkan seorang hamba, maka Dia mengharamkan terhadapnya ilmu.

5. Jika mayat seseorang telah diletakkan di dalam kuburnya, maka muncullah empat api. Lalu datanglah shalat (yang biasa dikerjakannya), maka ia memadamkan satu api. Lalu datanglah puasa, maka ia memadamkan api yang satunya lagi (api kedua). Lalu datanglah sedekah, maka ia memadamkan api yang satunya lagi. Lalu datanglah ilmu, maka ia memadamkan api yang keempat seraya berkata, �Seandainya aku menjumpai api-api itu, niscaya akan aku padamkan semuanya. Oleh karena itu, bergembiralah kamu. Aku senantiasa bersamamu, dan engkau tidak akan pernah melihat kesengsaraan.�

6. Janganlah engkau membicarakan ilmu dengan orang-orang yang kurang akal karena mereka hanya akan mendustakanmu, dan tidak pula kepada orang-orang bodoh karena mereka hanya akan menyusahkanmu. Akan tetapi, bicarakanlah ilmu dengan orang yang menerimanya dengan penerimaan yang baik dan yang memahaminya.

7. Cukuplah ilmu itu sebagai kemuliaan bahwasanya ia diaku-aku oleh orang yang bukan ahlinya dan senang jika dia dinisbatkan kepadanya.

July 11, 2011 Posted by | Kisah Hikmah | Leave a comment

Gus Dur dan Deklarasi Tentang Hubungan Pancasila dengan Islam

Sebuah Catatan Oleh: KH. Dr. A. Mustofa Bisri

Saat membicarakan Khitthah Nahdlatul Ulama dalam Musyawarah Nasional (Munas) Alim Ulama di Situbondo 16 Rabiul Awwal 1404 H / 21 Desember 1983, ada 3 Sub Komisi Khitthah yang masing-masing dipimpin oleh KH. Tholchah Mansoer; Drs. Zamroni, dan H. Abdurrahman Wahid (Gus Dur) � rahimahumuLlah.

Gus Dur waktu itu memimpin Sub. Komisi Deklarasi yang membahas tentang Hubungan Pancasila dengan Islam. Dan Deklarasi di bawah inilah hasilnya:

***

Bismillahirrahmanirrahim

1. Pancasila sebagai dasar dan falsafah Negara Republik Indonesia bukanlah agama, tidak dapat menggantikan agama dan tidak dapat dipergunakan untuk menggantikan kedudukan agama.

2. Sila “Ketuhanan Yang Maha Esa” sebagai dasar Negara Republik Indonesia menurut pasal 29 ayat 1 Undang Undang Dasar (UUD) 1945, yang menjiwai sila yang lain, mencerminkan tauhid menurut pengertian keimanan dalam Islam.

3. Bagi Nahdlatul Ulama (NU) Islam adalah akidah dan syariah, meliputi aspek hubungan manusia dengan Allah dan hubungan antara manusia.

4. Penerimaan dan pengamalan Pancasila merupakan perwujudan dari upaya umat Islam Indonesia untuk menjalankan syariat agamanya.

5. Sebagai konsekwensi dari sikap di atas, NU berkewajiban mengamankan pengertian yang benar tentang Pancasila dan pengamalannya yang murni dan konsekwen oleh semua pihak.

Musyawarah Nasional (Munas) Alim Ulama

Situbondo, 16 Rabiul Awwal 1404 H / 21 Desember 1983 M

***

Rapat untuk merumuskan Deklarasi di atas, hanya berlangsung singkat sekali. Pimpinan (H. Abdurrahman Wahid alias Gus Dur) membuka rapat dengan mengajak membaca AL-Fatihah. Lalu mengusulkan bagaimana kalau masing-masing yang hadir menyampaikan pikirannya satu-persatu dan usul ini disetujui. Kemudian secara bergiliran masing-masing anggota Sub Komisi — dr. Muhammad dari Surabaya; KH. Mukaffi Maki dari Madura; KH. Prof. Hasan dari Sumatera; KH. Zarkawi dari Situbondo; dan . A. Mustofa Bisri dari Rembang �berbicara menyampaikan pikirannya berkaitan dengan Pancasila dan apa yang perlu dirumus-tuangkan dalam Deklarasi.

Setelah semuanya berbicara, Pimpinan pun menkonfirmasi apa yang disampaikan kelima anggota dengan membaca catatannya, lalu katanya: �Bagaimana kalau kelima hal ini saja yang kita jadikan rumusan?� Semua setuju. Pimpinan memukulkan palu. Dan rapat pun usai.

K. Kun Solahuddin yang diutus K. As�ad Samsul Arifin untuk �mengamati� rapat, kemudian melapor ke K. As�ad. Ketika kembali menemui Pimpinan dan para anggota Sub Komisi, K. Kun mengatakan bahwa K. As�ad kurang setuju dengan salah satu redaksi dalam Deklarasi hasil rapat dan minta untuk diganti. Sub Komisi Khitthah pun mengutus A. Mustofa Bisri untuk menghadap dan berunding dengan K. As�ad. Hasilnya ialah Deklarasi di atas.

Yang masih menyisakan tanda Tanya di benak saya selaku �saksi sejarah�, bagaimana Gus Dur bisa begitu cepat menyimpulkan semua yang disampaikan anggota Sub Komisi dan kelimanya �termasuk saya– merasa bahwa kesimpulan yang dirumuskannya telah mencakup pikiran kami masing-masing. Dugaan saya, Gus Dur sudah �membaca� masing-masing pribadi kami dan karenanya sudah tahu apa yang akan kami katakan berkenaan dengan Pancasila, lalu menuliskan kelima butir rumusan tersebut. Dugaan ini sama atau diperkuat dengan fenomena yang masyhur: ketika Gus Dur sanggup menanggapi dengan pas pembicaraan orang yang �padahal– pada saat berbicara, Gus Dur tidur. Wallahu a�lam.

July 11, 2011 Posted by | Kisah Hikmah | Leave a comment

Ilmu dan Kebodohan

Sayyidina Ali K.W berkata:

1. Orang yang bodoh adalah yang menganggap dirinya tahu tentang makrifat ilmu yang sebenarnya tidak diketahuinya, dan dia merasa cukup dengan pendapatnya saja.

2. Orang yang alim mengetahui orang yang bodoh karena dia dahulunya adalah orang yang bodoh, sedangkan orang yang bodoh tidak mengetahui orang yang alim karena dia tidak pernah menjadi orang alim.

3. Orang bodoh adalah kecil meskipun dia orang tua, sedangkan orang alim besar meskipun dia masih remaja.

4. Allah tidak memerintahkan kepada orang bodoh untuk belajar sebelum Dia memerintahkan terlebih dahulu kepada orang alim untuk mengajar.

5. Sesuatu menjadi mudah bagi dua macam orang: orang alim yang mengetahui segala akibat dan orang bodoh yang tidak mengetahui apa yang sedang terjadi padanya.

6. Ada dua orang yang membinasakanku: orang bodoh yang ahli ibadah dan orang alim yang mengumbar nafsunya.

7. Imam `Ali a.s. menjawab pertanyaan seorang yang bertanya kepadanya tentang kesulitan, dia berkata, �Bertanyalah engkau untuk dapat memahami,
dan janganlah engkau bertanya dengan keras kepala. Sebab, sesungguhnya orang bodoh yang terpelajar serupa dengan orang alim, dan orang alim yang sewenang-wenang serupa dengan orang bodoh yang keras kepala.�

8. Engkau tidaklah aman dari kejahatan orang bodoh yang dekat denganmu dalam kekerabatan dan ketetanggaan. Sebab, yang paling dikhawatirkan terbakar nyala api adalah yang paling dekat dengan api itu.

9. Alangkah buruknya orang yang berwajah tampan, namun dia bodoh. la seperti rumah yang bagus bangunannya, tetapi penghuninya orang yang jahat,
atau seperti taman yang penghuninya adalah burung hantu, atau kebun kurma yang penjaganya adalah serigala.

10. Janganlah engkau berselisih dengan orang bodoh, janganlah engkau mengikuti orang pandir, dan janganlah engkau memusuhi penguasa.

11. Yang engkau lihat dari orang yang bodoh hanyalah dua hal: melampaui batas atau boros.

12. Sebodoh-bodoh orang adalah orang yang tersandung batu dua kali.

13. Menetapkan hujah terhadap orang bodoh adalah mudah, tetapi mengukuhkannya yang sulit.

14. Tidak ada kebaikan dalam hal diam tentang suatu hukum, sebagaimana tidak ada kebaikan dalam hal berkata dengan kebodohan.

15. Tidak ada penyakit yang lebih parah daripada kebodohan.

16. Dan tidak ada kefakiran yang sebanding dengan kebodohan.

July 11, 2011 Posted by | Kisah Hikmah | 1 Comment

Minta Pelajaaran Dari Pembantu Guru

Imam Hambali dengan segera menemui Imam Syafei begitu beliau mendengar Gurunya tsb berkunjung ke Bagdad kota tempat beliau tinggal. Lalu beliau mohon kepada Imam Syafei agar sudi memberikan waktu untuk beliau bisa menambah ilmu dari Sang Guru (Hal ini merupakan tradisi jaman dulu yg sangat elegan, meskipun sdh begitu tingginya ilmu Sang Murid, tetapi masih selalu menghormati gurunya dan tetap minta diberi pelajaran).

Imam Syafei berkata: “Hai Hambali, sebaiknya kamu minta pelajaran dulu dari pembantuku ini (seorang penggembala kambing) sebelum minta pelajaran kepadaku”. Beliau mencoba menawar agar dapat belajar langsung dari Sang Guru, namun Sang Guru mengulangi perkataannya. Sebagai seorang murid yg taat pada gurunya dia menuruti perintah Sang Guru meskipun ada yg mengganjal dihatinya. Apa sih hebatnya pembantu yg tukang angon ini, shg aku disuruh belajar dari dia??

Untuk mengetahui kedalaman ilmu Pembantu ini, Imam Hambalipun bertanya: “Wahai sdr, apa pendapatmu tentang seseorang yg lupa pada saat shalat sehingga meninggalkan satu rakaat dan terus salam?” Sang Pembantu menjawab: “Apakah aku akan menjawab menurut pendapatmu atau pendapatku?”

Imam Hambali terkejut mendengar jawaban ini, bagamana mungkin seorang Pembantu bisa menawarkan pilihan jawaban, yg biasanya hanya dimiliki oleh org yg berilmu tinggi.. Lalu beliau berkata: “Jawablah menurut pendapatku dan pendapatmu”.

Sang Pembantupun menjawab: “Baiklah, kalau menurut pendapatmu (maksudnya Imam Hambali), apabila lupanya belum lama (kira-kira selama 2 rakaat), maka org itu hanya perlu menambahkan satu rakaat yg ketinggalan tsb lalu sujud syahwi, tetapi kalau sdh cukup lama baru teringat, maka org tsb wajib mengulang shalatnya lalu sujut syahwi”

Imam Hambali terkejut koq orang ini tahu pendapatku..yang ternyata betul sekali karena tuntunannya memang demikian kata beliau dalam hati….

“Nah kalau menurut pendapatku… apabila aku yg melakukan kesalahan tadi, aku juga akan melakukan hal yang sama seperti pendapatmu itu, tapi aku juga akan melakukan puasa satu tahun lamanya sebagai tebusan atas kesalahanku pada Tuhanku, karena aku merasa sangat takut dan malu telah lupa pada Nya  dan memikirkan hal lain di dalam shalatku”

Imam Hambali terperanjat dan terpana mendengar jawaban Sang Pembantu tadi.. Sekarang aku baru tahu betapa tingginya derajat orang ini, betapa luar biasa kuatnya rasa takut dan rasa malu orang ini kepada Tuhannya…meskipun dia hanya seorang pembantu dan penggembala kambing, yang dimata orang lain mungkin dianggap rendah..pantas Sang Guru menyuruh aku untuk menimba ilmu darinya…kata Imam Hambali dalam hati…

July 11, 2011 Posted by | Imam Al-Shafi’i, Imam Hambali | 4 Comments