Daris Rajih

Search…View…Copy…Paste…

Wilayah (Kewalian) seorang Ibu dan Ghawts ul-A’zham

Cerita ini dikisahkan oleh almarhum Syaikh Zakariya bin ‘Umar Bagharib Singapore (qaddasAllahu sirrahu wa nafa’anaa bibarakaatih), yang adalah putra dari Syaikh ‘Umar bin Abdullah Bagharib (qaddasAllahu sirrahu wa nafa’anaa bibarakaatih), seorang mursyid Tariqah Qadiriyah di Singapore.

Syaikh Zakariya Bagharib pernah bercerita bahwa suatu saat di masa hidup Ghawtsul A’zham Syaikh ‘Abdul Qadir al-Jailaniy1) (qaddasAllahu sirrahu wa nafa’anaa bibarakaatih), sang Sulthanul Awliya’ tengah berada di lingkungan Masjidil Haram. Saat berada di sana, beliau (Syaikh ‘Abdul Qadir) merasa takjub ketika melihat seorang wanita yang tengah melakukan thawafmengelilingi Ka’bah dengan hanya satu kakinya. Melalui firasat beliau, fahamlah Syaikh ‘Abdul Qadir bahwa wanita tersebut bukanlah wanita biasa, melainkan pastilah seorang Wali. Syaikh ‘Abdul Qadir Al-Jailaniy pun mencoba mencari tahu level atau maqam atau kedudukan sang Wanita Waliyyah tersebut. Beliau pun mencoba ke level 1 (Wali ‘rendahan’), tak dijumpainya ruuhaniyyah wanita itu. Ke level 2, tak ada. Level 3, 4, … tak ada pula. Hingga sampai mendekati maqam Ghawtsiyyah beliau sendiri, tak juga ada. Akhirnya, menyerah juga, dan memohonlah beliau ke Hadirat Allah SWT yang kira-kira secara bebas
dapat dibahasakan sebagai berikut, “Yaa Allah, siapakah wanita ini yang tak dapat kulihat maqam wilayahnya?” (Sedangkan Syaikh Abdul Qadir Jailani terkenal dengan ucapannya ‘Kakiku berada di leher para Awliya”’)

“Yaa, ‘Abdal Qadir, ikutilah wanita itu bila engkau ingin mengetahui maqam wilayahnya”

Sang Ghawts pun membuntuti wanita tersebut, hingga akhirnya beliau mengetahui bahwa ternyata, wanita tersebut sebenarnya tidaklah buntung kaki yang satu. Yang terjadi adalah, wanita tersebut sebenarnya tengah menyusui anaknya. Anaknya yang kekenyangan tertidur di pangkuan kakinya. Dan dengan karamahnya sang Waliyyah ini ‘memutus’ sementara satu kaki agar anaknya tak terbangun, sementar ia pun menuju Masjidil Haram untuk berthawaf dengan hanya satu kaki. Dan ketika kembali ke anaknya yang masih terlelap dalam tidur, ia pun menyambungkan kembali kaki tadi.

Subhanallah. Itulah wilayah seorang wanita yang dicapai melalui kasih sayang keibuannya. Mawlana Syaikh Muhammad Nazim ‘Adil Al-Haqqani (qaddasAllahu sirrahu wa nafa’anaa bibarakaatih) pun sering menyebutkan betapa dekat seorang wanita dengan darajah Wali… lewat keibuan (motherhood). Sayangnya, banyak wanita di zaman ini, termasuk dari kalangan Muslimah meninggalkan keibuan/motherhooddan menganggapnya sebagai sesuatu yang ketinggalan zaman.
Dan sungguh ternyata kita tidak pernah tahu berapa dan betapa banyak hamba-hamba Allah (rijaalallah wa ‘ibaadallah) yang Ia SWT sembunyikan dalam kubah wilayah-Nya.

Catatan kaki:
Menurut almarhum Mawlana Syaikh Husayn ‘Ali ar-Rabbani (qaddasAllahu sirrahu wa nafa’anaa bibarakaatih), Syaikh ‘Abdul Qadir Al-Jailani memegang maqam Ghawtsiyyah selama 3 tahun. Sebelum beliau adalah Mawlana Syaikh Yusuf Al-Hammadaniy (qaddasAllahu sirrahu wa nafa’anaa bibarakaatih), dan setelah beliau adalah Mawlana Syaikh ‘Abdul Khaliq Al-Ghujdawani (qaddasAllahu sirrahu wa nafa’anaa bibarakaatih). Maqam Ghawtsiyyah adalam maqam tertinggi wilayah, sebagai representasi Rasulullah Muhammad sallallahu ‘alayhi wasallam.

January 20, 2012 Posted by | Syekh Abdul Qodir Al Jaelani | 5 Comments

Indahnya Mencari Ilmu

Kemiskinan, bukan alasan dalam mencapai kecemerlangan ilmu: Imam Syafi�I (w. 820 M), adalah seorang anak yatim dan miskin, telah menghafal al-Qur�an ketika berumur 7 tahun, dan menghapal pula kitab Fikih Imam Malik ketika berumur 10 tahun. Beliau juga telah dianggap layak untuk membuat fatwa ketika berumur 12 tahun (Anwar Ahmad Qadri, 1981, Islamic Jurisprudence in the Modern World, Lahore: Sh. Muhammad Ashraf, hlm. 124). Sewaktu dewasa beliau biasa menghabiskan 1/3 malam belajar. (al Ghazali, Ihya Ulumiddin, terjemahan N. A. Faris, 1979, The Book of Knowledge, Lahore: Sh. Muhammad Ashraf, hlm: 59).

Kecacatan, bukan alasan dalam mencapai kecemerlangan ilmu: Abu Hasan al-Tamimi (w. 918 M) adalah seorang yang buta, tetapi kecintaannya pada ilmu menjadikan beliau belajar melalui pendengaran saja sehingga menjadi ulama fiqh mazhab Syafi�I yang terkenal. (George Makdisi, 1981, The Rise of Colleges, Edinburgh: Edinburgh University Press, hlm: 99).

Situasi Sosial Politik yang Tidak Stabil, bukan alasan dalam mencapai kecemerlangan ilmu: Ibn Taymiyyah (w. 1328 M) yang dilahirkan ketika keadaan politik umat Islam kacau balau di bawah keganasan Mongol dan Perang Salib, hidup dalam iklim keilmuan keluarganya. Beliau mempelajari al-Qur�an, Hadith, Fiqh, matematika, sejarah, sastra, imu kalam serta filsafat dan tamat pada belajar� ketika berumur 21 tahun. (Qamaruddin Khan, 1985, Political Thought of Ibn Taymiyyah, Islamabad: Islamic Research Institute, hlm: 2-4).

Kesenangan Hidup juga tidak menjadikan diri menjadi Malas untuk mencapai kecemerlangan ilmu: Ibn Hazm (w. 1064 M) yang dilahirkan di Qordoba dan Ibn Khaldun (w. 1406) yang dilahirkan di Tunis, keduanya berasal dari lingkungan keluarga yang berada, berpendidikan dan berpengaruh. Mereka dibesarkan dalam suasana kelimuan yang biasa dialami oleh anak-anak seperti itu mempelajari semua bidang agama dan filsafat. Bidang kajian Ibn Hazm lebih luas lagi sehingga sampai meliputi perobatan (kedokteran) yang beliau tidak amalkan secara serius mungkin karena terpaksa berpindah pindah disebabkan suasana politik yang tidak stabil. (A.G. Chejne, op.cit,, hlm: 36-43 dan Ibn Khaldun, Muqaddimah, terjemahan Franz Rosenthal, hlm: vii-xii).

Kedudukan dan Umur bukan faktor penghalang untuk terus belajar: Imam Abu Hanifah, walaupun sudah mempunyai pengikut dan masyhur, ternyata masih belajar lagi dengan Imam Malik yang 13 tahun lebih muda daripadanya. (Shibli Nu�mani, 1982, Imam Abu Hanifah: Life and Work, terjemahan M. Hadi Hussain, Lahore: Institute of Islamic Culture, hlm: 30).

Al-Jahiz (w. 869 M) adalah seorang budak hitam, sekaligus berprofesi sebagai penjual roti dan ikan, ternyata beliau mampu mencapai ketinggian ilmunya bukan hanya sekedar dengan cara menghadiri kuliah (ceramah-ceramah/halaqoh) tetapi dengan cara bergaul dengan ilmuwan di Mirdad, yaitu sebuah kawasan terbuka di pinggir Basra. Mirdad adalah tempat pertemuan para kabilah dan para ilmuwan yang saling bertukar berbagai ragam bahasa Arab Badui. Al Jahiz juga sering mengunjungi masjid dan mempelajari hal-hal yang berguna daripada para pengunjung masjid yang lain (masjidiyun). Kisah kematian beliau mencerminkan kehidupan yang benar-benar cinta akan ilmu. Beliau yang lumpuh tubuh badannya meninggal dunia tertindih oleh buku-buku yang selalu tersimpan di sekelilingnya. (Charles Pellat, 1969, The Life and Works of Jahiz, Berkeley/Los Angeles: University of California Press, hlm: 3-9).

Abu Rayhan Al Biruni (w. 1048 M) menguasai berbagai disiplin ilmu, ahli sains, ahli perundangan, ahli perbandingan agama dan menguasai berbagai bahasa seperti Arab, Parsi, Turki, Yahudi dan Sambani, dan ketika mengikuti Mahmud Ghaznawi ke India selama 14 tahun, beliau mempelajari bahasa Sanskrit untuk menulis tentang agama dan budaya orang India. (G. Allana, 1979, �Abu Rayhan Muhammad Ibn Ahmad al Biruni: A Restless Genius in Search of Knowledge�, dalam Al-Biruni Commemorative Volume: Proceedings of the International Congress, Hakim Mohammad Said, (ed.), Karachi: Hamdard National Foundation, hlm: 149-157). Ternyata ketika beliau sakit parahpun masih mendesak seorang sahabat yang menziarahinya, agar memberikan jawaban terhadap satu persoalan fiqh yang beliau rasa belum mendapat jawaban yang tepat. Sahabatnya dengan nada kasihan bertanya kepada al Biruni: Apakah ini waktu yang tepat untuk membahas tentang persoalan fiqh sedangkan engkau dalam keadaan seperti ini? Al Biruni menjawab dengan tegas bahwa beliau tidak mau meninggalkan alam fana ini dalam keadaan jahil (tidak tahu/bodoh) tentang penyelesaian persoalan tersebut. (Ahmad Shalaby, 1945, History of Muslim Education, Beirut: Dar al-Kashshaf, hlm: 179).

Ibn Rushd (w. 1198 M) hanya bercuti (libur) 2 hari sepanjang hidupnya dari kerjanya yaitu mengajar, menulis dan memberi fatwa sebagai Qodi, yaitu pada hari kematian bapaknya dan dan pada hari perkawinannya. (Miguel Cruz Hernandez, 1989, �Ibn Rushd dan Musa Ibn Maymun-Ahli Falsafah al-Andalus�, Kurier UNESCO, no 11, hlm: 9).

Ibn Sina (w. 1037 M) yang hidup di Iran disekitar abad ke-10 dan ke-11 Masehi, telah menerima pendidikan al-Qur�an dan kesusasteraan ketika masih kecil. Setelah sampai pada usia 10 tahun beliau telah mengkhatamkan al-Qur�an dan banyak kitab kesusasteraan. Sejak kecil beliau dan saudara kandungnya telah ditunjukan kepada perbincangan filsafat tentang masalah akal dan roh, geometri dan ilmu hisab India. Beliau dihantar oleh ayahnya mempelajari ilmu hisab India dan matematika dari seorang penjual sayur yang menguasai bidang ini. Kemudian beliau juga giat pula mempelajari ilmu Fiqh dan menguasaiya. Setelah itu beliau mengkaji filsafat, khasnya kitab Isagoge karangan Porphyry, seorang tokoh filsafat Yunani Kuno. Beliau belajar ilmu logika dengan cara otodidak sampai menguasainya. Kemudian beliau juga memabca sendiri teks dan komentar tentang sains kedokteran dan metafisika. Beliau juga membaca kitab perobatan dan mengatakan bahwa ilmu perobatan tidaklah terlalu sulit. Oleh karenanya, dalam waktu yang singkat telah
menguasainya dan tidak sedikit para pakar perobatan yang belajar kepadanya. Beliau merawat orang-orang yang sakit dan mendalami lagi ilmu perobatan. Pada usia 16 tahun, beliau melibatkan diri dalam ilmu perundangan dan sering berpolemik tentang hal tersebut.
Kemudian, selama satu setengah tahun beliau belajar dan mengkaji tentang filsafat dengan mendalam. Apabila merasa letih dan mengantuk ketika belajar, maka beliau akan meminum jus buah-buahan untuk menyegarkan badan dan meneruskan bacaan. Beliau banyak bersembahyang di masjid dan berdoa agar Allah memberikan penjelasan terhadap persoalan yang sukar dipahaminya. Beliau melaksanakan hal tersebut secara istiqamah sehingga semua bidang ilmu seperti logika, sains kedokteran dan matematika dikuasainya. Kemudian beliau membaca kitab Metafizika karangan Aristotle sebanyak 40 kali tetapi masih belum memahaminya sehingga akhirnya beliau menemukan ulasan (penjelasan) al-Farabi tentang kitab metafizikanya Aristotle. Beliau merasa sangat gembira ketika dapat memahami kitab yang hampir 500 halaman tersebut, lalu beliau mendirikan sholat sunat dan banyak bersedekah. Ketika beliau dipanggil untuk membantu Sultan Nuh al-Mansur di Bukhara, beliau mengambil kesempatan buku-buku di perpustakaan besar kepunyaan sultan itu dan telah selesai menguasai semua bidang ilmu setelah berumur 18 tahun. (William E. Gohlman, 1974, The Life of Ibn Sina: A Critical Edition and Annotated Translation, New York: SUNY Press).

Syed Muhammad Naquib� Al-Attas: Ketika beliau sedang menyiapkan penjelasan tentang karya Hujjatul Siddiq oleh Syeikh Nurudin al-Raniri pada awal 1980an, al-Attas membuat kajian di Perpustakaan Universiti Chicago. Dalam beberapa pertemuan dengan Prof. Dr Wan Mohd Nor Wan Daud di sana beliau mengakui amat sukar tidur sebab memikirkan maksud penulis kitab tersebut. Bahkan, karena kesungguhan beliau dalam memahami maksud kitab tersebut sampai-sampai beliau seakan-akan berbicara dengan al-Raniri sendiri. Beliau pernah menyatakan kepada Prof Wan, bahwa ketika menulis tentang episode-episode sejarah, beliau seolah-olah dapat melihat dengan mata hatinya rentetan-rentetan semua peristiwa penting dalam episode berkenaan. Hal yang sama juga berlaku ketika beliau merancang dua kampus ISTAC di Jalan Damansara dan Persiaran Duta yang indah dan berperibadi unik itu. Beliau dapat membayangkan setiap sudut dari bangunan itu dan semua yang ingin diletakkan di dalamnya seperti seorang penghias dalaman dan juru lanskap. (Prof. Dr. Wan Mohd Nor Wan Daud, Artikel: Falsafah dan Metodologi Pengkajian Sejarah Syed Muhammad Naquib Al-Attas pada Seminar Khas Sejarah Alam Melayu: Antara Fakta dan Khayalan, anjuran CASIS di Bilik Jemaah UTM International Campus Kuala Lumpur,� 9hb Sept 2011).

January 20, 2012 Posted by | Kisah Sufi | Leave a comment

Minta Pelajaaran Dari Pembantu Guru

Imam Hambali dengan segera menemui Imam Syafei begitu beliau mendengar Gurunya tsb berkunjung ke Bagdad kota tempat beliau tinggal. Lalu beliau mohon kepada Imam Syafei agar sudi memberikan waktu untuk beliau bisa menambah ilmu dari Sang Guru (Hal ini merupakan tradisi jaman dulu yg sangat elegan, meskipun sdh begitu tingginya ilmu Sang Murid, tetapi masih selalu menghormati gurunya dan tetap minta diberi pelajaran).

Imam Syafei berkata: “Hai Hambali, sebaiknya kamu minta pelajaran dulu dari pembantuku ini (seorang penggembala kambing) sebelum minta pelajaran kepadaku”. Beliau mencoba menawar agar dapat belajar langsung dari Sang Guru, namun Sang Guru mengulangi perkataannya. Sebagai seorang murid yg taat pada gurunya dia menuruti perintah Sang Guru meskipun ada yg mengganjal dihatinya. Apa sih hebatnya pembantu yg tukang angon ini, shg aku disuruh belajar dari dia??

Untuk mengetahui kedalaman ilmu Pembantu ini, Imam Hambalipun bertanya: “Wahai sdr, apa pendapatmu tentang seseorang yg lupa pada saat shalat sehingga meninggalkan satu rakaat dan terus salam?” Sang Pembantu menjawab: “Apakah aku akan menjawab menurut pendapatmu atau pendapatku?”

Imam Hambali terkejut mendengar jawaban ini, bagamana mungkin seorang Pembantu bisa menawarkan pilihan jawaban, yg biasanya hanya dimiliki oleh org yg berilmu tinggi.. Lalu beliau berkata: “Jawablah menurut pendapatku dan pendapatmu”.

Sang Pembantupun menjawab: “Baiklah, kalau menurut pendapatmu (maksudnya Imam Hambali), apabila lupanya belum lama (kira-kira selama 2 rakaat), maka org itu hanya perlu menambahkan satu rakaat yg ketinggalan tsb lalu sujud syahwi, tetapi kalau sdh cukup lama baru teringat, maka org tsb wajib mengulang shalatnya lalu sujut syahwi”

Imam Hambali terkejut koq orang ini tahu pendapatku..yang ternyata betul sekali karena tuntunannya memang demikian kata beliau dalam hati….

“Nah kalau menurut pendapatku… apabila aku yg melakukan kesalahan tadi, aku juga akan melakukan hal yang sama seperti pendapatmu itu, tapi aku juga akan melakukan puasa satu tahun lamanya sebagai tebusan atas kesalahanku pada Tuhanku, karena aku merasa sangat takut dan malu telah lupa pada Nya  dan memikirkan hal lain di dalam shalatku”

Imam Hambali terperanjat dan terpana mendengar jawaban Sang Pembantu tadi.. Sekarang aku baru tahu betapa tingginya derajat orang ini, betapa luar biasa kuatnya rasa takut dan rasa malu orang ini kepada Tuhannya…meskipun dia hanya seorang pembantu dan penggembala kambing, yang dimata orang lain mungkin dianggap rendah..pantas Sang Guru menyuruh aku untuk menimba ilmu darinya…kata Imam Hambali dalam hati…

July 11, 2011 Posted by | Imam Al-Shafi’i, Imam Hambali | 4 Comments

Abu Yazid dan Hati Sufi di Bashrah

Diriwayatkan oleh Syaikh Syamsuddin at-Tabrizi bahwa suatu hari ketika Syaikh Abu Yazid al-Busthami sedang dalam perjalanan menuju Makkah untuk menunaikan ibadah haji, beliau mengunjungi seorang sufi di Bashrah. Secara langsung dan tanpa basa-basi, sufi itu menyambut kedatangan beliau dengan sebuah pertanyaan: “Apa yang anda inginkan hai Abu Yazid?”.

Syaikh Abu Yazid pun segera menjelaskan: “Aku hanya mampir sejenak, karena aku ingin menunaikan ibadah haji ke Makkah”.
“Cukupkah bekalmu untuk perjalanan ini?” tanya sang sufi.
“Cukup” jawab Syaikh Abu Yazid.
“Ada berapa?” sang sufi bertanya lagi.
“200 dirham” jawab Syaikh Abu Yazid.

Sang sufi itu kemudian dengan serius menyarankan kepada Syaikh Abu Yazid: “Berikan saja uang itu kepadaku, dan bertawaflah di sekeliling hatiku sebanyak tujuh kali”.

Ternyata Syaikh Abu Yazid masih saja tenang, bahkan patuh dan menyerahkan 200 dirham itu kepada sang sufi tanpa ada rasa ragu sedikitpun. Selanjutnya sang sufi itu mengungkapkan: “Wahai Abu Yazid, hatiku adalah rumah Allah, dan ka’bah juga rumah Allah. Hanya saja perbedaan antara ka’bah dan hatiku adalah, bahwasanya Allah tidak pernah memasuki ka’bah semenjak didirikannya, sedangkan Ia tidak pernah keluar dari hatiku sejak dibangun oleh-Nya”.

Syaikh Abu Yazid hanya menundukkan kepala, dan sang sufi itupun mengembalikan uang itu kepada beliau dan berkata: “Sudahlah, lanjutkan saja perjalanan muliamu menuju ka’bah” perintahnya.

Syaikh Abu Yazid al-Busthami adalah seorang wali super agung yang sangat tidak asing lagi di hati para penimba ilmu tasawuf, khususnya tasawuf falsafi. Beliau wafat sekitar tahun 261 H. Sedangkan Syaikh Syamsuddin at-Tabrizi (yang meriwayatkan kisah di atas) adalah juga seorang wali besar (wafat tahun 645 H.) yang telah banyak menganugerahkan inspirasi dan motivasi spiritual kepada seorang wali hebat sekaliber Syaikh Jalaluddin ar-Rumi, penggagas Tarekat Maulawiyah (wafat tahun 672 H.).

July 11, 2011 Posted by | Abu Yazid Al Busthami | 1 Comment

4 Nasihat Rasulullah SAW kepada Siti Ai’syah RA

Ada 4 (empat) buah Nasihat Rasulullah SAW kepada Istrinya tercinta Siti Ai’syah Rodliyallohu Anha… :

  1. Ya Ai’syah…. Janganlah Engkau tidur di malam hari sebelum engkau MENGHATAMKAN AL-QUR’AN….
  2. Ya Ai’syah…. Janganlah Engkau tidur di malam hari sebelum engkau MENDAPATKAN SYAFAAT DARI PARA RASUL dan NABI….
  3. Janganlah Engkau tidur di malam hari sebelum engkau MENDAPATKAN RIDHO’ dari SELURUH KAUM MUSLIMIN….
  4. Dan Janganlah Engkau tidur di malam hari sebelum engkau MENDAPATKAN PAHALA UMROH DAN HAJJI …..

Siti Ai’syah lalu bertanya Kepada Rasulullah SAW,

Ya Rasulullah… Bagaimana caranya agar saya bisa mendapatkan empat fadhilah tersebut dalam satu malam ?

bisa MENGHATAMKAN AL-QUR’AN- bisa MENDAPATKAN SYAFAAT DARI PARA RASUL dan NABI-

bisa MENDAPATKAN RIDHO’ dari SELURUH KAUM MUSLIMIN- dan bisa MENDAPATKAN PAHALA UMROH DAN HAJJI ?

Rasulullah SAW tersenyum lalu menjawab….

Ya Ai’syah…. yang kumaksud dengan : Janganlah Engkau tidur di malam hari sebelum engkau MENGHATAMKAN AL-QUR’AN adalah : Janganlah Engkau tidur di malam hari SEBELUM MEMBACA SURAH AL-IKHLAS TIGA KALI….

Karena bila engkau membaca Surah Al-Ikhlas 3X sebelum tidur, itu sama halnya engkau membaca seluruh Al-Qur’an.

Ya Ai’syah…. yang kumaksud dengan : Janganlah Engkau tidur di malam hari sebelum engkau MENDAPATKAN SYAFAAT DARI PARA RASUL dan NABI adalah ; Janganlah Engkau tidur di malam hari SEBELUM MEMBACA SHALAWAT bukan hanya kepadaku tapi juga kepada para Nabi dan Rasul… “Allohumma sholli ‘ala Saydina Muhammadin… wa’ala Sya-iril Ambiyaa wal Mursaliin, wa ‘ala alihim wa shohbihim ajma’in” (artinya Ya Allah Sholawat dan Salam kepada Nabi Muhammad, dan kepada seluruh para Nabi dan Rasul, serta kepada keluarga-keluarga mereka dan sahabat-sahabat mereka).

Janganlah Engkau tidur di malam hari sebelum engkau MENDAPATKAN RIDHO’ dari SELURUH KAUM MUSLIMIN, adalah dengan cara memohon AMPUN kepada ALLAH atas segala dosa-dosamu dan dosa-dosa seluruh Kaum Muslimin. yaitu dengan senantiasa membaca ” Robbighfirli…wali walidayya…waliman haqqun alayya.. wali jami’il muslimin wal muslimat… wal mu’miniin wal mu’minat… al ahya’i wal amwaat…” (artinya Ya Tuhan kami ampuni aku, ampuni kedua orangtuaku dan siapa2 yang memiliki nasab keturunannya, dan kepada seluruh muslimin dan muslimat, dan mu’minin dan mu’minat… baik yang masih hidup maupun yang sudah mati)

Yang ke empat, Janganlah Engkau tidur di malam hari sebelum engkau MENDAPATKAN PAHALA UMROH DAN HAJJI, yaitu dengan senantiasa membaca Tashbih, Tahmid, Tahlil, dan Takbir… ” Subhanallah.. wal hamdulillah, Wala ilaha illallah Huwallohu Akbar” (artinya Maha Suci Allah… Segala Puji bagi Allah, Tiada sesembahan kecuali Allah, Allah yang Maha Besar).

April 20, 2011 Posted by | Kisah Sufi | 5 Comments

Keteguhan Imam Ahmad bin Hanbal

Semua ulama telah mengambil rukhshah. Menghadapi fitnah dan siksaan yang ditimpakan oleh khalifah di antara para ulama ada yang memilih menyembunyikan keyakinannya dan menampakkan kekafiran secara terang-terangan. Ada juga yang menampakkan kekafiran secara tawriyah, tidak terang-terangan. Saat ditanya apakah al-Qur`an itu makhluk ataukah kalamullah mereka menjawab, “Allah menurunkan empat kitab suci. Kitab Zabur diturunkan kepada Nabi Dawud.” Mereka menjawab ini sambil menunjuk jari telunjuk. “Kitab Taurat diturunkan kepada Nabi Musa.” Lanjut mereka sambil menambahkan jari tengah atas jari telunjuk memberi isyarat dua. “Kitab Injil diturunkan kepada Nabi Isa.” Mereka pun menambahkan jari manis mengisyaratkan jumlah tiga. “Dan al-Qur`an diturunkan kepada Nabi Muhammad.” Mereka menambahkan jari kelingking memberi isyarat empat. Lalu mereka berkata,”Satu, dua, tiga, empat ini adalah makhluk.” Jawab mereka sambil menunjukkan keempat jarinya. Mereka memaksudkan yang makhluk adalah keempat jarinya, meskipun yang mendengamya mengira mereka mengakui bahwa al-Qur`an dan kitab-kitab Allah yang lain adalah makhluk. Itulah tawriyah.

Tinggal Imam Ahmad bin Hanbal yang bertahan. Tak ayal lagi beliau diseret dan dimasukkan ke dalam penjara sambil menunggu persidangan. Di dalam penjara Imam Ahmad didatangi oleh sahabat-sahabat dan murid-muridnya. Mereka semua mengharap supaya Imam Ahmad mengambil rukhshah sehingga bisa meneruskan kajian di masjid seperti biasanya. Mereka membawakan ayat dan hadits-hadits yang membolehkan seorang muslim mengambil rukhshah, boleh mengucapkan kata-kata kufur asalkan hatinya tetap berada di dalam iman di saat nyawanya terancam.

Setelah semua orang menyajikan argumen masing-masing, giliran Imam Ahmad menjawab. “Bagaimana dengan hadits Khabbab? ” Semua terdiam membisu. Sebab semua tahu yang dimaksud oleh sang Imam. Hadits Khabbab itu berbunyi: Dari Khabbab bin al-Arat ia berkata, “Kami mengadu kepada Rasulullah shalallahu alaihi wassalam saat beliau menjadikan kain selimut beliau sebagai bantal di sisi ka’bah. Kami katakan kepada beliau, ‘Mengapa engkau tidak memintakan pertolongan (kepada Allah) bagi kami? Mengapa engkau tidak berdoa kepada Allah untuk kami?’ Beliau menjawab, ‘Di antara umat sebelum kalian ada seseorang yang digalikan lubang untuknya, lalu ia dimasukkan ke dalamnya, diambillah sebilah gergaji, dan kepalanya pun digergaji di bagian tengahnya. Namun hal itu tidak menyurutkannya dari memegang agamanya kuat-kuat. Lalu diambillah sisir dari besi dan disisirkan pada kepalanya sehingga kulitnya terkelupas dan tampaklah tengkorak kepalanya. Namun hal itu pun tidak membuatnya bergeser dari agamanya. Demi Allah, bersabarlah, kalian, karena Allah akan menyempurnakan agama ini sampai ada orang yang berjalan dari Shan’a menuju Hadramaut, ia tidak takut akan sesuatu pun selain Allah atau serigala yang hendak menerkam kambing-kambingnya. Sungguh, kalian tertalu tergesa-gesa.”‘

Hadits Khabbab yang dimaksud memuat kisah keteguhan segelintir orang yang disiksa karena mempertahankan agamanya. Dan tampaknya sang Imam hendak meneladani orang yang dikisahkan oleh Rasulullah dalam hadits itu. Maka, orang-orang pun pulang dengan tangan kosong. Mereka tinggal menunggu hari eksekusi yang relah ditetapkan.

Hari itu datang. Khalifah telah mengumpulkan orang-orang di halaman istananya. Untuk ‘acara’ eksekusi itu disiapkan tempat khusus sehingga khalayak yang hadir dapat menyaksikan apa yang akan terjadi pada sang Imam.

Di dalam istana, Imam Ahmad yang dibawa menuju tempat khusus yang telah disediakan sempat ditemui oleh salah seorang murid beliau, Imam al-Marwaziy. “Wahai Ustadz, Allah telah berfirrnan, ‘Janganlah kamu membunuh dirimu sendiri!'(QS. an-Nisa’: 29)

“Wahai Marwaziy, tengoklah keluar! Apa yang kamu lihat?” jawab Imam Ahmad.

Imam al-Marwaziy menuturkan, ‘Aku lihat lautan manusia. Hanya Allah yang tahu jumlahnya. Mereka semua membawa lembaran kertas dan pena. Mereka siap menulis apa saja yang akan didengar keluar dari lisan sang Imam.”

“Bagaimana menurutmu Marwaziy, haruskan aku menyesatkan mereka semua? Atau tidak mengapa satu nyawa melayang hari ini asalkan mereka semua tidak tersesat? Bagaimana?” tanya sang Imam retoris.

Imam al-Marwaziy memandang dari kejauhan saat Imam Ahmad ditanya pendapatnya tentang al-Qur’an: apakah ia makhluk ataukah kalamullah.

Semua yang hadir terdiam membisu menunggu jawaban sang imam. Mereka telah siap dengan kertas dan pena masing-masing. Dan mereka tidak perlu menunggu waktu yang lama untuk mendengar jawaban sang Imam. Dengan tegas dan lantang Imam Ahmad menjawab, “Al-Qur’ an adalah kalamullah!”

Ribuan pena menggores kertas mencatat fatwa sang Imam yang teguh berpijak di atas sunnah seiring cambukan pertama yang dilakukan oleh algojo khalifah mendera tubuh Imam Ahmad yang lemah. Dalam pandangan Imam Ahmad siksa yang menderanya belum ada apa-apanya dibandingkan siksaan yang dialami oleh lelaki yang disebut Nabi dalam hadits Khabbab. Imam al-Marwaziy hanya bisa diam dan berdoa kepada Allah saat menyaksikan tubuh lemah sang Imam dicambuk tak kurang dari 40 kali oleh para algojo yang bergantian melakukannya. Sampai tubuh lemah itu terkulai pingsan tanpa daya.

April 20, 2011 Posted by | Imam Hambali | 3 Comments

Menentang Ego

Kisah ini tentang salah satu Mursid dalam Tarekat Naqshbandi Rantai Emas, yang dilapori salah seorang muridnya tentang adanya pendeta Hindu yang mempunyai kemampuan lebih : bisa terbang, berjalan di atas air dan mengetahui hal hal yang akan datang. Maka Mursid inipun dengan mengucapkan basmalah, dalam sesaat sudah berada di hadapan pendeta Hindu tersebut, yang segera menyambutnya dengan hangat :”Selamat datang Shaykh, saya tahu anda akan hadir, maka saya sengaja menyediakan hidangan yang halal, hewan ternaknya disembelih oleh pembantu yang seorang Islam juga. Mari silahkan dinikmati hidangan yang sudah saya sediakan ini.” Mursid Naqshbandi itu menjawab :”Terima kasih. Tetapi saya tidak mau menyantap hidangan ini sebelum anda mengucapkan dua Kalimat Shahadat.”

Maka sang pendeta Hindu menundukkan kepalanya, lama. Lama sekali. Sejam lebih baru akhirnya dia mengangkat kepalanya dan mengucapkan kalimat Shahadat dihadapan Mursid itu. Sang Murshid bertanya :”Mengapa anda tadi memerlukan waktu yang lama sekali baru bersedia mengucapkan dua Kalimat Shahadat?”

Sang pendeta menjawab :”Kebiasaan lama saya adalah selalu menentang apa yang dikatakan ego saya, maka saya bisa mencapai kedudukan saya yang sekarang. Kalau ego saya suruh saya ke kanan, saya ke kiri Kalau ego menyuruh saya maju, saya mundur. Tadi ketika anda minta saya mengucapkan dua kalimat shahadat, ego saya membujuk panjang lebar agar saya tidak melakukan itu, karena kata ego, saya akan kehilangan semua yang telah saya capai dengan memeluk Islam. Kata ego, saya akan kehilangan semua kepandaian saya. Saya akan kehilangan status sosial saya. Saya akan ditinggal kan para pengikut saya. Saya pikir itu semua adalah yang saya sukai, saya senangi. Maka lama sekali saya harus bergulat dengan ego. Meskipun sudah menjadi tradisi saya untuk menentang ego, tetapi kalau saya kehilangan itu semua, saya juga tidak mau. Setelah melalui pergulatan batin yang panjang, akhirnya saya mantap meneruskan tradisi saya : menentang ego. Maka saya pun mengucapkan dua kalimat shahadat itu.”

Diceritakan bahwa pendeta Hindu itu setelah masuk Islam, karena dia selalu menen tang egonya, maka seluruh ilmu hitamnya telah dirubah Allah menjadi ilmu putih, sehing ga kepandaiannya bukannya berkurang malah bertambah.

April 20, 2011 Posted by | Kisah Sufi | 2 Comments

10 Wasiat Rasulullah SAW untuk Mengusir Bisikan Setan, Jin dan Manusia

  1. Jika dia membisikkan: “Anakmu akan”. Jawablah: “Semua akan mati, dan anakku akan ke surga, aku malah senang.”
  2. Jika membisikkan: “Hartamu akan musnah.” Jawablah: “Tak apalah, pertanggung-jawabanku menjadi ringan.”
  3. Jika dia membisikkan: “Orang-orang menzalimi dirimu, sedangkan kamu tidak zalim.” Jawablah: “Siksa Allah akan menimpa orang-orang zalim dan tidak mengenai orang-orang yang baik.” (Aku serahkan kepada Allah SWT)
  4. Jika dia membisikkan: “Betapa banyak kebaikanmu.” Jawablah: “Kejelekanku lebih banyak.” (Astaghfirullah).
  5. Jika dia membisikkan: “Alangkah banyak shalatmu.” Jawablah: “Kelalaianku lebih banyak dari pada shalatku.” (Lalai: tidak mengingat bahwa Allah mengawasi dirinya)
  6. Jika dia membisikkan: “Betapa banyak kamu bersedekah kepada orang-orang.” Jawablah: “Apa yang aku terima Allah jauh lebih banyak dari yang aku sedekahkan.”
  7. Jika dia membisikkan: “Betapa banyak orang yang menzalimu.” Jawablah: “Orang-orang yang aku zalimi lebih banyak.” (Astaghfirullah).
  8. Jika dia membisikkan: “Betapa banyak amalmu.” Jawablah: “Betapa sering aku bermaksiat.” (A’udzubillah)
  9. Jika dia membisikkan: “Minumlah minuman-minuman keras.” Jawablah: “Aku tidak akan mengerjakan maksiat.” (Aku minum sari ttauhid saja).
  10. Jika dia membisikkan: “Mengapa kamu tidak mencintai dunia?” Jawablah: “Aku tidak mencintainya karena telah banyak orang lain yang tertipu olehnya.” (dan mereka sengsara batin, kini sebagian di penjara dan sebagian lagi telah wafat berada di neraka Barzakh. Akan aku kuatkan ekonomiku, tetapi aku tidak akan mencintai harta, karena harta hanyalah alat untuk hidupku, tetapi aku bukan untuk harta).

April 4, 2011 Posted by | Kisah Sufi | 2 Comments

Ilmu dan Pengamalannya

Sayyidina Ali K.W:

  1. Ilmu berhubungan dengan amal. Barangsiapa yang berilmu, niscaya mengamalkan ilmunya. Ilmu memanggil amal; maka jika ia menyambut panggilannya bila tidak menyambutnya, ia akan berpindah darinya.
  2. Pelajarilah ilmu, niscaya kalian akan dikenal dengannya; dan amalkanlah ilmu (yang kalian pelajari) itu, niscaya kalian akan termasuk ahlinya.
  3. Wahai para pembawa ilmu, apakah kalian membawanya? Sesungguhnya ilmu hanyalah bagi yang mengetahuinya, kemudian dia mengamalkannya, dan perbuatannya sesuai dengan ilmunya. Akan datang suatu masa, dimana sekelompok orang membawa ilmu, namun ilmunya tidak melampaui tulang selangkanya. Batiniah mereka berlawanan dengan lahiriah mereka. Dan perbuatan mereka berlawanan dengan ilmu mereka.
  4. Orang yang beramal tanpa ilmu, seperti orang yang berjalan bukan di jalan. Maka, hal itu tidak menambah jaraknya dari jalan yang terang kecuali semakin jauh dari kebutuhannya. Dan orang yang beramal dengan ilmu, seperti orang yang berjalan di atas jalan yang terang. Maka, hendaklah seseorang memperhatikan, apakah dia berjalan, ataukah dia kembali?
  5. Janganlah sekali-kali engkau tidak mengamalkan apa yang telah engkau ketahui. Sebab, setiap orang yang melihat akan ditanya tentang perbuatannya, ucapannya, dan kehendaknya.
  6. Orang yang berilmu tanpa amal, seperti pemanah tanpa tali busur.

March 28, 2011 Posted by | Kisah Sufi | Leave a comment