Daris Rajih

Search…View…Copy…Paste…

Kedudukan Ulama

Sayyidina Ali K.W berkata:

1. Orang alim adalah lampu Allah di bumi. Maka, barangsiapa yang Allah menghendaki kebaikan baginya, dia akan memperoleh cahaya (ilmu) itu.

2. Kedudukan orang alim bagaikan pohon kurma, engkau menunggu kapan buahnya jatuh kepadamu.

3. Orang alim lebih utama dari pada orang yang berpuasa, mengerjakan shalat malam (tahajud), dan yang berjihad di jalan Allah. Jika seorang alim meninggal, maka terjadi lubang dalam islam yang tidak tertutupi sehingga datang orang alim lain yang datang kemudian (menggantikannya).

4. Orang yang (keluar dari rumahnya) mencari ilmu, para malaikat akan mengantar kepergiannya sehingga dia pulang (ke rumahnya).

5. Orang alim adalah yang mengetahui kemampuan dirinya, dan cukuplah seseorang dikatakan bodoh jika dia tidak mengetahui kemampuan dirinya.

6. Ketahuilah! Sesungguhnya hamba-hamba Allah yang memelihara ilmu-Nya, menjaga yang dijaga-Nya, dan memancarkan mata air ilmu-Nya, mereka ini saling berhubungan dengan wilayah (perwalian), saling bertemu dengan kecintaan, minum bersama dengan gelas pemikiran, dan pergi dengan meninggalkan bau yang harum. Mereka tidak dicampuri oleh keraguan, dan tidak pula mereka bersegera dalam mengumpat. Berdasarkan hal itulah, mereka mengukuhkan pembawaan dan akhlak mereka, saling mencintai, dan saling berhubungan di antara sesama mereka. Mereka ini seperti keunggulan benih yang telah dipilih, yang diambil darinya dan dilemparkan. la telah dipisahkan oleh penyaringan dan dibersihkan oleh pembersihan.

7. Di antara hak seorang guru terhadap muridnya adalah hendaklah si murid tidak terlalu banyak bertanya kepadanya, tidak membebaninya dalam memberikan jawaban, tidak mendesaknya jika dia sedang malas, tidak menyebarkan rahasianya, dan tidak mengumpat seorang pun di sisinya.

8. Orang yang alim adalah yang mengetahui bahwa apa yang diketahuinya, jika dibandingkan dengan apa yang tidak diketahuinya, sangatlah sedikit. Maka, karena itulah dia menganggap dirinya bodoh. Oleh karena itu, bertambahlah kesungguhannya dalam mencari ilmu karena pengetahuannya akan hal itu.

9. Kesalahan yang dilakukan seorang alim seperti kapal yang pecah, maka ia tenggelam dan tenggelam pula bersamanya banyak orang.

10. Jika seorang alim tertawa satu kali, maka dia telah membuang satu ilmu dari dirinya.

January 20, 2012 Posted by | Sufisme | 1 Comment

Mana Yang Kau Cari – Penampilan Atau Realitas?

Uwais al-Qarni berdiri sendirian di padang pasir, bersandar pada seorang pembantunya. Ia bertemu Nabi tidak dalam bentuk lahiriah; namun ia tahu rahasia para Sahabat. Dan tidak satu pun menolak bahwa dirinya adalah seorang Sufi; semoga Allah menyucikan kegaibannya!

Dzun-Nun al-Mishri bicara berbelit-belit, dan mengajar dengan tulisan Mesir kuno. Dan tidak satu pun menyangkal bahwa ia guru kita.

Al-Hallaj dan Suhrawardi, dibunuh atas keputusan pengadilan karena mengatakan hal-hal yang tidak populer di zaman kami; keduanya guru kami.

Guru kita Bahauddin dari Bukhara tanpa kata-kata berkomunikasi dengan hati kita. Namun ia bicara sejujur yang pernah dibicarakan orang.

Ahmad ar-Rifai yang didatangkan, untuk dirinya dan penerusnya, nama pembual, dan orang yang berperilaku yang bukan-bukan. Secara rahasia ia dipersatukan dengan kita.

Orang berpikir bahwa Jalaluddin dan Fariduddin Aththar hanyalah penyair.

Hafizh membicarakan Anggur, Ibnu al-Arabi tentang Perempuan, al-Ghazali tampaknya berbicara dengan kiasan.

Tidak satu pun menyangkal bahwa mereka adalah satu.

Semuanya ikut serta dalam tugas suci kita.

Syabistari berbicara tentang kemusyrikan; Maulana Chisyti mendengarkan musik; Khwaja Anshar seorang pemimpin religius. Khayyam, Abi al-Khair dan ar-Rumi menolak bentuk religius.

Tetapi tidak satu pun menolak diantara Orang-orang di Jalan bahwa semuanya adalah satu.

Yusuf Qalandar berkelana ke muka bumi.

Syeikh Syattar mengubah manusia dalam sekejap.

Ali al-Hujwiri dipandang hanya sebagai juru penerang.

Semuanya, sebagai satu, ikut serta pada tugas suci kita.

Abdul Qadir al-Jilani dari Persia, dan Salman serta Sa’di; Abu Bakr dari Arab, Nuri dan Ja’fari; Baba Farid, Ibnu Adham dari Afghan; Jami’ dari Khurasan, Bektash dari Turki, Nizamuddin dari India, Yusuf dari Andalusia.

Semuanya, sebagai satu, ikut serta pada kerja suci kita.

Pikiran-pikiran dangkal bertanya, bagaimana perilaku kaum Sufi, yang menandai mereka sebagai Guru kita? Apa bentuk Latihan yang mungkin kita banggakan? Jalan apa yang akan membuat Jalan sesuai untukku? Tempat apa yang melahirkan Guru? Kebiasaan dan jaminan apa yang membawa manusia menuju Kebenaran?

Hentikan, engkau bodoh! Sebelum terlambat — putuskan: apakah engkau ingin mempelajari penampilan, atau Realitas?

(Nawab Jan-Fishari Khan)

February 24, 2009 Posted by | Sufisme | 5 Comments

Jalan Kaum Sufi

Sufisme adalah ajaran sebaik persaudaraan kaum Sufi, orang-orang mistis yang berbagi keyakinan bahwa pengalaman batiniah bukanlah bagian dari kehidupan, tetapi kehidupan itu sendiri. Sufi berarti “cinta”.

Pada pencapaian lebih rendah, para anggota diorganisir ke suatu lingkaran dan pondok-pondok. Bentuk yang lebih tinggi — sakinah (kedamaian), mereka melambung bersama dengan barakah (berkah, kekuatan, kesucian) dan interaksi mereka dengan kekuatan ini berpengaruh dalam kehidupan mereka sehari-hari.

Sufisme adalah jalan hidup, diyakini oleh anggota sebagai esensi dan realitas semua ajaran religius dan filosofis. Ajaran ini membimbing ke penyelesaian kaum laki-laki dan kaum perempuan, melalui institusi murid, meditasi dan praktek. Berikutnya adalah “realitas hidup”.

Kebijakan atau penyelesaian, menurut kaum Sufi, dibedakan dari intelektualisme, keakademisan dan sebagainya, yang sekadar sebagai alat. Jalan, mengajarkan sampai tingkat mana alat ini dapat digunakan; dan juga bagaimana menggabungkan tindakan dengan takdir.

“Sufisme,” kata guru, “adalah jalan yang diambil kaum Sufi dalam kehidupan dan pekerjaan nyata mereka sesuai bentuk yang berbeda dengan bentuk lain; yang menuntun mereka ke perkembangan mental, fisik dan kekuatan metafisik yang penuh. Awalnya mereka diorganisir ke dalam kelompok di bawah bimbingan seorang Pembimbing (guru) sampai hubungan pengabadian diri ditegakkan.”

“Hubungan persahabatan disebut Persaudaraan, Aliran, dan Cara atau Jalan. Mungkin pula disebut Bangunan, sebagai analogi atas sesuatu yang dibangun oleh perkumpulan anggota. Guru disebut Syeikh, Orang Bijak,Yang Lebih Tahu, Pemimpin, Kuno atau Pengarah. Murid disebut Yang Diarahkan, Penggemar, Pecinta atau Calon.”

“Pondok disebut biara, kuil, pertapaan dan sebagainya, yang mungkin memiliki bentuk fisik, mungkin pula tidak.”

Tambahan pula sistem metafisikal saling dihubungkan dengan kehidupan biasa, Sufisme mempertahankan bahwa anggota-anggotanya akan unggul dalam pekerjaan terpilih mereka.

Sufisme adalah ajaran, tidak dengan metode membosankan seperti catatan buku atau ajaran “A sampai Z”. Akhirnya, ketika hubungan sudah cukup mantap, engkau melanjutkan pelajarannya sendiri, dan menjadi “Pribadi Sempurna”. (Al-Insan al-Kamil)

Sufisme tidak dikhotbahkan, dan bahkan diajarkan pada beberapa kasus dengan contoh dan bimbingan yang mungkin tidak diketahui oleh murid fakultas biasa.(Zhalim Abdurrahman)

February 24, 2009 Posted by | Sufisme | 16 Comments

Kebenaran Itu Sendiri

Ketika Sufi berkata, “Ini sendiri merupakan kebenaran,” ia mengatakan, “Karena saat ini dan orang ini dan tujuan ini, kita harus memusatkan perhatian kita seolah kebenaran itu sendiri.”

Dalam melakukan ini, Sufi membantumu dengan mengajari engkau, seyakin seperti yang dikatakan guru sekolah, “Ini A dan ini B, ini sendiri adalah kebenaran selama masa kita mempelajarinya.

Dengan cara ini orang belajar kemampuan membaca dan menulis. Dengan cara ini orang mempelajari wujud benda yang sebenarnya (metafisika).

Namun orang-orang tanpa pemahaman yang peka sering menyerang Sufi karena berperilaku demikian, karena mereka sendiri kurang sabar dan kurang bekerjasama. Bila engkau tidak memberi kesempatan kepada seseorang untuk mengerjakan tugas ini, maka engkau dapat menuduhnya terlalu berdedikasi.

Ingat, jika anjing menggonggong dan suaranya mengganggumu, bisa jadi itu tanda bahaya darinya — kalau engkau menganggap anjing itu menggonggong kepadamu. Engkau sudah salah paham terhadapnya.

(Hakim Tahirjan dari Kafkaz)

January 27, 2009 Posted by | Sufisme | Leave a comment

Kalau Aku Mati

Sekarang, kalau aku mati, mungkin engkau membaca suatu kebenaran tentang Sufi. Sudahkah informasi ini diberikan kepadamu, langsung atau tidak langsung, saat aku berada diantara kalian, kalian semua, menerima sedikit, menyuburkan ketamakan dan mencintai keajaibannya sendiri.

Maka ketahuilah, bahwa apa yang dilakukan guru Sufi untuk dunia dan masyarakatnya, besar dan kecil, sering tidak terlihat oleh para peneliti.

Seorang guru Sufi menggunakan kekuatannya untuk mengajar, mengobati, membuat manusia bahagia dan sebagainya, sesuai pertimbangan paling baik dalam menggunakan kekuatan. Jika ia tidak menunjukkan keajaiban padamu, bukan berarti ia tidak dapat melakukannya. Jika ia kurang menguntungkan dirimu dengan cara yang engkau harapkan, bukan berarti ia tidak mampu. Ia menguntungkan dirimu sesuai dengan kebutuhanmu, kelayakanmu, bukan menjawab tuntutanmu. Ia mempunyai tugas yang lebih tinggi; inilah apa yang ia penuhi.

Banyak diantara kalian sudah merubah hidupmu, diselamatkan dari berbagai risiko, diberi banyak kesempatan — tidak satu pun dari kalian mengenalinya sebagai sebuah manfaat. Namun demikian, engkau memiliki manfaat ini.

Banyak dari kalian, kendati tengah mencari kehidupan yang lebih utuh, sama sekali tidak akan memiliki kehidupan bila tidak berusaha untuk Komunitas Sahabat. Banyak dari kalian yang miskin, akan dikutuk seandainya kaya. Banyak diantara kalian tetap kaya, karena adanya Manusia Bijak. Banyak diantara kalian yang ada di sekolahku berpikir bahwa kalian sudah kuajari. Kenyataannya, engkau hadir secara fisik dalam pertemuan-pertemuan kalian, sementara pikiran kalian ada di pertemuan lainnya.

Semua ini begitu asing bagi kebiasaan pemikiran kalian, bahwa engkau belum siap dalam posisi mengenalinya.

Tugasku adalah memberi manfaat. Tugas untuk membuat manfaat tersebut dapat engkau mengerti, adalah tugas orang lain.

Tragedimu adalah, sementara menungguku bersedia memberimu keajaiban dan membuat perubahan yang dapat dimengerti untukmu, engkau telah menciptakan keajaiban yang tidak kulakukan, dan membangun kesetiaan padaku, yang sama sekali tidak berarti. Dan engkau membayangkan “perubahan” dan “bantuan” dan “pelajaran” yang tidak terjadi (berlangsung). “Perubahan”, “bantuan”, “pelajaran”, bagaimanapun ada di sana. Sekarang temukan apa sebenarnya itu semua. Jika engkau terus berpikir dan melakukan apa yang sudah aku katakan, engkau bekerja dengan materi-materi kemarin, yang sudah digunakan.

(Mirza Abdul Hadi Khan dari Bukhara)

January 27, 2009 Posted by | Sufisme | 1 Comment

Berkah

Engkau yang berbicara tentang Berkah, mungkin musuh dari Berkah itu sendiri. Laki-laki maupun perempuan seharusnya menjadi musuh dari apa yang ingin ia cintai yang melekat dalam diri manusia — tetapi hanya beberapa jenis manusia.

Dalam bahasa biasa, Berkah adalah sesuatu, yang melalui pengaruh keilahian, menyelamatkan manusia. Ini kebenaran; tetapi selamat hanya untuk sebuah tujuan. Lagi, dalam pembicaraan biasa, masyarakat berusaha memanfaatkan Berkah untuk memberi mereka sesuatu. Ini keserakahan yang samar. Orang-orang yang bertakhayul meminta Berkah dari makam orang suci. Memang ada, tetapi apa yang mereka dapatkan bukan Berkah, kecuali kalau tujuannya benar. Berkah melekat pada sesuatu seperti halnya pada masyarakat, tetapi hanya diberikan kepada yang layak. Karena tujuan praktis Berkah, sama sekali tidak ada di sana.

Ketika tidak ada Berkah sejati, dari kehausan manusia seperti itu, maka emosionalitasnya dianggap berasal dari harapan dan ketakutannya terhadap kebaikan Berkah. Jadi ia akan merasa bangga, kesedihan, emosi yang kuat, dan menyebutnya Berkah. Sesuatu yang sangat mudah dianggap sebagai Berkah adalah: suatu perasaan yang didapatkan manusia dari sesuatu yang aman, dikenal, menggetarkan.

Tetapi hanya kaum Sufi yang memiliki Berkah sejati. Mereka adalah salurannya, sebagaimana mawar sebagai saluran aroma wewangiannya. Mereka dapat memberimu Berkah, tetapi hanya jika engkau setia pada mereka, yang artinya setia terhadap apa yang mereka wakili.

Jika engkau mencari Berkah, temanku, carilah Sufi. Jika ia tampak brutal, berarti ia berterus terang, dan itulah takdir Berkahnya. Jika engkau ingin membayangkan, engkau akan sering-sering berada di dekat mereka yang tampak olehmu memberi jaminan dan pengangkatan depresi. Ambillah ini jika memang engkau perlu. Tetapi jangan sebut Berkah. Untuk mendapatkan Berkah, engkau harus memberi apa yang engkau miliki terus-menerus, sebelum engkau dapat menerima. Menerima sebelum engkau memberi adalah ilusi dan pikiran dosa. Bila engkau sudah memberi — beri lagi, sepenuh jiwa.

(Syeikh Syamsuddin Siwasi)

January 27, 2009 Posted by | Sufisme | 1 Comment

Belajar

Masyarakat cenderung ingin belajar dengan guru-guru terkenal. Namun selalu ada orang-orang yang tidak dihargai masyarakat, yang sebenarnya dapat mengajari mereka dengan efektif. (Al-Ghazali)

Seorang guru dengan sedikit pengikut, atau sama sekali tidak ada pengikutnya, mungkin orang yang tepat untukmu. Sesuai dengan sifatnya, sedikit semut tidak akan berkerumun untuk melihat gajah, dengan harapan memperoleh keuntungan. Seorang guru terkenal barangkali hanya bermanfaat untuk Para sarjana (tingkat) lanjutan. (Badakhsyani)

Bila seorang guru yang sangat terpercaya mengatakan kepadamu untuk belajar di bawah seseorang yang tampaknya kurang terkenal, ia tahu apa kebutuhanmu. Banyak murid merasa diremehkan dengan saran seperti ini, padahal sesungguhnya demi kemajuan mereka. (Abdurrahman dari Bengal)

Telah kupelajari apa yang kupelajari hanya setelah guruku membebaskan diriku dari kebiasaan mendekatkan diri terhadap yang aku hargai sebagai guru dan pelajaran. Kadang aku tidak harus berbuat apa-apa sama sekali untuk waktu yang lama. Kadang aku harus mempelajari sesuatu yang tidak dapat kuhubungkan dengan pemikiranku, tidak peduli aku mencoba, dengan cita-cita lebih tinggi. (Zikiria ibnu al-Yusufi)

Mereka yang tertarik oleh sisi luar, yang mencari tanda-tanda lahiriah seorang guru, yang menyandarkan diri pada emosi didalam mempelajari atau membaca buku yang mereka pilih — mereka adalah lalat kolam Tradisi; mereka melompat dan meluncur di atas permukaan. Karena mereka memiliki kata-kata “dalam” dan “penting”, mereka mengira, dengan tidak benar, bahwa mereka mengetahui pengalaman-pengalaman tersebut. Inilah mengapa kita mengatakan, untuk tujuan-tujuan praktis, bahwa mereka tidak tahu apa pun. (Thalib Syamsi Ardabili)

Berhatilah-hatilah jangan salah mencerna sesuatu yang lain. Engkau boleh mengunjungi orang besar atau membaca bukunya, dan kau boleh merasa tertarik atau memusuhi. Seringkali hanya dicerna di kalangan murid. (Musthafa Qalibi dari Antioch)

Jika memulai jalan sekali lagi, permintaanku adalah, “Ajari aku bagaimana belajar dan apa yang dipelajari?” Dan, bahkan sebelumnya, “Biarkan aku benar-benar mengharapkan belajar bagaimana caranya belajar, sebagai cita-cita yang benar, bukan semata-mata dalam tuntutan diri sendiri.” (Khwaja Ali Ramitani, menunjuk delegasi Yamani)

January 27, 2009 Posted by | Sufisme | Leave a comment

Delapan Sifat Kaum Sufi

Dalam ajaran Sufi, delapan sifat harus dilatih. Kaum Sufi memiliki:

Kemurahan hati seperti Ibrahim a.s.;

Penerimaan yang tak bersisa sedikit pun dari Ismail a.s.;

Kesabaran, sebagaimana dimiliki Ya’kub a.s.;

Kemampuan berkomunikasi dengan simbolisme, seperti halnya Zakaria a.s.;

Pemisahan dari para pendukungnya sendiri, sebagaimana halnya Yahya a.s.;

Jubah wool seperti mantel gembala Musa a.s.;

Pengembaraan, seperti perjalanan Isa a.s.;

Kerendah-hatian, seperti jiwa dari kerendahan hati Muhammad saw.

 

July 23, 2008 Posted by | Junaid Al-Baghdadi, Sufisme | 18 Comments

Membaca Filosofi Sufi

Membaca sesuatu dan segala sesuatu dalam Sufisme seperti membaca segala macam buku dengan subyek berbeda tanpa dasar yang penting. Suatu malapetaka, seperti halnya pengobatan secara serampangan, mungkin membuat manusia malah lebih buruk daripada sebelum membacanya.

Tulisan-tulisan Sufi senantiasa ditujukan untuk pengunjung khusus. Pengunjung ini tidak sama di Bukhara dengan di Basrah, di Spanyol dan di Afrika.

Namun nilai kumpulan pelajaran khusus dari bacaan-bacaan Sufi yang dibuat seorang Sufi tidak dapat dilebih-lebihkan.

Nilai-nilai tersebut termasuk:

Pilihan bagian-bagian yang akan membantu komunitas menemukan jalannya.

Persiapan murid, untuk pencerahan yang diberikan guru secara pribadi bila waktunya siap;

Suatu perbaikan terhadap pengulangan-pengulangan doktrin dan praktek biasa yang membosankan, yang pudar tanpa diketahui.

Suatu perbaikan terhadap kegembiraan yang kita alami setiap hari, dan yang memanipulasi kita tanpa kita ketahui.

Oleh karena itu, bacalah, apa yang sudah disiapkan untukmu, sehingga engkau memperoleh berkah dari kebahagiaan abadi.

(Hadrat Bahauddin Naqsyabandi)

July 23, 2008 Posted by | Sufisme, Syekh Muhammad Bahauddin An Naqsabandiy RA | 1 Comment